Forgive Me [PART 5]
September 06, 2019Matahari mulai tenggelam saat Leo
tersadar. Matahari sore yang berwarna kuning cerah merambat masuk ke tempatnya
berada. Ia mengerjapkan matanya dan mendudukan dirinya di atas lantai kamar
mandi. Kepalanya langsung terasa sangat sakit begitu ia bangun. Ia memegang
kepalanya yang berdenyut sakit.
Leo berdiri perlahan, karena
seluruh tubuhnya terasa remuk. Tubuhnya masih basah kuyup. Ia terhuyung ketika
berjalan menuju washtafel untuk
mencuci lukanya dan melihat keadaan dirinya.
Leo menatap panik ke arah
bayangannya di cermin. Ia benar-benar kacau. Rambut cokelatnya basah. Pelipisnya
terluka, terlihat ada jejak darah mengalir di sisi wajahnya. Pipinya lebam.
Ujung bibirnya berdarah. Ia merasakan sakit di punggungnya. Ia melepas
seragamnya untuk melihat seberapa parah luka lebam di punggungnya.
Terlihat jelas noda biru keunguan
menghiasi punggungnya di daerah tulang belikat. Ia meringis saat menyentuh luka
itu. Setelah mengecek luka lebam lain di tubuhnya, ia memakai seragam OSIS-nya
lagi.
Dengan cepat, ia membasuh bekas
darah di wajahnya. Tanpa sadar tangannya gemetar karena kenangan buruk itu
datang lagi. Matanya terasa panas dan detik berikutnya ia menangis. Dengan
susah payah, ia berusaha menahan agar ingatan itu tidak datang lagi. Ia tidak
bisa mengendalikan pikirannya yang kalut.
Stop, Leo. Jangan diingat! ucapnya
berulang kali dalam pikirannya.
Ia menghapus air matanya, membasuh
wajahnya sekali lagiㅡmenahan perih saat air menyentuh luka di wajahnya, kemudian ia
berjalan menuju pintu toilet laki-laki.
Terkunci.
Leo yakin Theo pasti menguncinya
setelah memukul kepalanya dengan kayu, supaya ia tidak ketahuan oleh siapa pun.
Ia mengintip celah antara daun pintu dan kusen pintu. Ia bisa membukanya tanpa
harus mendobraknya.
Ia mencari kawat di setiap sudut
toilet, namun yang ia temukan malah jepit rambut perempuan. Ia tak mengerti
kenapa bisa ada jepit di toilet anak laki-laki, tapi ia tak ambil pusing. Ia
segera berlari ke pintu dan membuka pintu itu menggunakan jepit rambut.
Pintu pun terbuka. Suasana sekolah
sudah sangat sepi, karena bel pulang sudah berbunyi sejak dua jam yang lalu.
Sekarang sudah hampir maghrib. Ia merasa aman karena tak ada orang di
sekitarnya. Jadi ia tak perlu repot menyembunyikan keadaannya yang kacau.
“Leo?”
Leo tersentak saat seseorang
memanggilnya. Ia segera berlari menuju kelasnya untuk mengambil tas dan hoodie-nya. Tapi ternyata sosok itu
terus mengejarnya.
“LEO! TUNGGU!”
Leo tidak menoleh ke belakang. Ia
terus berlari sambil menutupi kepalanya dengan tudung hoodie menuju tempat parkir.
**
Nathan pulang terlambat hari ini
karena ada kegiatan ekskul melukis. Ia tidak jadi pergi ke atap sekolah, karena
Jeff ada rapat OSIS. Lagipula ia tidak tahu dimana jalan menuju atap sekolah.
Kata Jeff, ada di lantai 3 gedung utama sekolah. Tapi setiap kali ia pergi
ekskul di lantai 3, ia sama sekali tidak pernah melihat tanda-tanda jalan menuju
atap sekolah. Atau jangan-jangan tangga menuju atap sekolah berada di ruang
misterius? Ah, ia lebih memilih tidak tertarik pada atap sekolah daripada harus
masuk ke ruang misterius itu.
Nathan berjalan menuju gerbang
depan sekolah. Sopirnya sudah menjemputnya. Sebenarnya ia sudah berkali-kali
ingin berangkat sekolah tanpa antar-jemput seperti ini, tapi Ayahnya selalu menolak
idenya mentah-mentah.
Tiba-tiba Nathan melihat sosok
jangkung sedang berjalan di koridor sekolah. Sosok itu menengok ke kanan dan ke
kiri, seperti sedang memastikan tak ada yang menangkap sosoknya. Nathan
berjalan lebih dekat untuk memperhatikan sosok itu. Ia terkejut saat menyadari
kalau itu adalah Leo. Keadaan cowok itu terlihat memprihatinkan. Seragamnya
berantakan dan kotor, rambutnya basah kuyup, serta samar terlihat banyak luka
lebam di tangannya.
“Leo!” panggil Nathan.
Tapi yang dipanggil tidak menoleh.
Ia justru berlari cepat menuju ke arah tempat parkir.
“LEO! TUNGGU!” seru Nathan lagi,
tapi Leo sudah menjauh. Anak itu larinya cepat juga.
Nathan menatap Leo dengan bingung.
Sekarang ia menyadari kalau pendapat Jeff benar. Terkadang Leo bertingkah aneh.
**
Leo sampai di rumah dengan tubuh
menggigil. Ia segera membersihkan dirinya dari air toilet sekolah yang kotor. Untuk
pertama kalinya, ia merasa bersyukur tidak ada Ryan di rumah. Padahal biasanya
ia panik kalau tidak bisa menemukan kakaknya saat sampai di rumah. Hari ini
berbeda.
Setelah mandi dan mengganti
bajunya, ia mengempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia benar-benar lelah
hari ini.
**
Malam semakin larut, namun kota
itu seperti tak pernah mati. Kendaraan masih hilir mudik di jalan raya.
Orang-orang yang baru pertama kali datang ke Yogyakarta masih berfoto di Jalan
Malioboro. Kereta api terus datang dan pergi meski hari baru saja berganti dan
fajar belum tiba. Termasuk bar western
di salah satu jalan yang sering didatangi bule itu semakin ramai saat malam
semakin larut.
Ryan tidak begitu into to the party. Ia hanya duduk di
meja bar sambil menenggak segelas wine. Sedari
tadi matanya terus mengekori Olive yang sedang bersama teman-teman tour-nya.
Gadis Amerika itu memang selalu
terlihat cantik. Rambut blonde-nya
digelung sehingga menampakkan leher jenjangnya. Saat ini, gadis itu memakai
pakaian yang sedikit western yaitu dress berwarna merah marun. Dress itu sederhana namun jadi terlihat
mewah saat Olive memakainya. Malam ini, ia terlihat stunning. Merasa ada yang sedang memandanginya, ia pun berjalan ke
arah meja bar.
“Hey, Ryan,” sapanya.
Ryan tersenyum. “Do you want to take one shot?”
“No, I can’t drunk here,” jawab Oliveㅡtertawa renyah.
Ryan pun menenggak gelas berisi red wine ituㅡyang tadinya
untuk Oliveㅡmenikmati sensasi saat alkohol membakar perutnya. Warm.
“Wanna go home now?” tawar Olive, agak khawatir melihat Ryan yang
sudah mulai terpengaruh oleh alkohol. “Think
about your brother.”
“Olive, can I kiss you?”
“What?” Olive tak begitu mendengar perkataan Ryan karena suara ingar
bingar bar yang tiba-tiba pecah. Orang-orang pun menari mengikuti alunan beat musik yang dimainkan DJ.
Tapi Ryan seolah tak terpengaruh
oleh itu semua. Perlahan, Ryan mendekatkan wajahnya pada wajah Olive yang duduk
di sampingnya. Ia menekankan bibirnya pada kening Olive yang tak tertutupi
rambut.
Olive menatap Ryan kebingungan.
Namun pipinya bersemu merah karena kecupan singkat itu. “For what?”
“For everything. You’ll left
Indonesia tomorrow, right?” tanya Ryan memastikan.
Olive mengangguk. Matanya terasa
panas saat mendengar Ryan mengucapkan hal itu. “I’m gonna miss you, buddy,” ucapnya. Sudah sejak lama ia ingin
menanyakan hal ini, tapi belum pernah sampai di mulutnya. “Ehm… Do you have plan to comeback?”
Ryan langsung mengerti apa yang
dimaksud Olive. “Indonesia is my house. So,
I won’t go back anywhere.”
Mereka terdiam selama beberapa
saat. Ryan melirik Swiss Army di pergelangan tangan kirinya. Sudah lewat tengah
malam. Ia khawatir adiknya mencari-cari dirinya. Lagipula ia harus pergi selama
masih sober.
“You okay riding home alone? Should I call taxi?” tanya Olive saat
melihat Ryan beranjak berdiri yang itu berarti sebentar lagi mereka akan
berpisah, entah untuk berapa lama.
“I’ll be fine by myself. Don’t worry.”
Ryan berjalan menuju pintu keluar
bar. Namun Olive tetap diam di tempatnya berdiriㅡmenatap punggung
sahabatnya yang entah kapan ia bisa melihatnya lagi. Ryan melambaikan tangannya
sambil tersenyum lebar. Olive membalas lambaian Ryan. Saat Ryan tak terlihat
lagi dari pandangannya, tangannya terkulai.
“Take care of yourself, Ryan,” ucapnya
lirih.
**
Part 5
Seorang bocah laki-laki berjalan
di koridor sebuah rumah yang sangat megah. Rumah itu adalah miliknya.
Keluarganya adalah keluarga terpandang di seluruh penjuru kota. Kekuasaan
politik kekayaan harta, dan keluarga yang utuh dimiliki oleh mereka…
Namun, semua itu hanya palsu. Bocah
itu tahu senyum Mamanya yang keibuan hanya palsu, karena setiap kali Mamanya di
rumah, ia hanya melihat senyuman gila dari seseorang yang harusnya ia panggil
Ibu.
Malam telah tiba. Cahaya bulan
menerangi deretan kaca jendela yang berada di sepanjang koridor rumah. Bocah
berusia 7 tahun itu berlari menuju pintu belakang rumah, namun seseorang
menghadangnya. Sosok besar itu meneriakkan sesuatu padanya… tapi ia tak bisa
mendengarnya.
Tubuhnya masih kecil dan segala di
sekelilingnya terlihat sangat besar, termasuk orang itu. Anak itu ketakutan
melihat sosok itu. Otaknya berusaha mengingat kesalahan apa yang telah ia
perbuat sampai membuat sosok itu memegang benda yang sangat ia takuti…
“MAAFKAN AKU!” teriak bocah itu
kalut. “MAMA! TOLONG AKU!” teriaknya lagi saat melihat sosok Mamanya berdiri
tak jauh dari dirinya.
Wajah wanita muda itu dingin. Ia
seperti tak mengenal putranya. Ia menggumamkan sesuatu yang tak bisa putranya
dengar. Anak itu ketakutan saat Papa dan Mamanya berubah menjadi lebih besar lagi.
Ia membenci kedua orangtuanya. Ia sangat membenci mereka. Namun ia juga
menyayangi mereka sepenuh hati.
Tiba-tiba kedua sosok itu meleleh
dan berubah menjadi darah. Cairan berwarna merah segar membanjiri lantai. Anak
itu menutup mulutnya karena mual. Napasnya tertahan dan matanya berair. Ia
melangkah mundur ke belakang, namun kakinya terpeleset, sehingga ia ikut
terjatuh dalam cairan kental itu…
**
Leo terbangun dengan napas
tersengal dan keringat mengalir di wajahnya. Ia menatap nanar langit-langit
kamarnya. Lantas mengecek keadaan sekelilingnya, untuk memastikan kalau itu
hanya mimpi buruk.
Ia mendudukan dirinya di atas
tempat tidur sambil memegang kepalanya yang berdenyut sakit. Ia mengatur
napasnya susah payah. Mimpi buruk itu teraa nyata sekali. Ia sudah lama
melupakan wajah kedua orangtuanya, tapi sekarang ia mengingatnya lagi.
“Ryaan,” panggilnya dengan suara
serak.
Ia keluar dari kamarnya untuk
mencari Ryan. Ia membuka kamar kakaknya, kosong. Ia mengecek seluruh kamar yang
ada di rumah, semuanya kosong. Ia juga telah mengecek ruang tamu, ruang tengah,
ruang makan, dan dapur. Ia tidak menemukan Ryan di manapun.
Ia mencoba menelepon kakaknya.
Tapi sambungannya terputus karena ia tidak punya pulsa. Ia mengumpat kesal
karena Ryan juga tidak membalas chat-nya
di Whatssap, LINE, dan KakaoTalk.
“Arghhh… Ryan berengsek.” Ia
melempar ponselnya ke atas karpet.
Ia duduk di atas sofa, lantas
menekuk dan memeluk lututnya. Ia menangkupkan wajahnya di kedua telapak
tangannya. Kepalanya terus mengingat mimpi barusan, sekeras apa pun ia berusaha
melupakannya. Wajah Papa dan Mamanya maish terbayang-bayang…
Ia menyalakan TV untuk mengusir
sepi. Tapi tayangan TV tengah malam tidak ada yang bagus. Ada sih, film yang
menarik, tapi film itu sudah di bagian final. Ia tidak tahu jalan ceritanya.
“Argh…” Tiba-tiba tangannya
menjatuhkan remote TV-nya dan
langsung memegang dada kirinya. Ia tidak bisa mengembuskan napasnya dengan
leluasa. Sedangkan tiap tarikan napasnya membuatnya kesakitan. Ia menggigit
bibirnyaㅡmenahan sakit saat ia bernapasㅡsampai ia bisa
merasakan darah di bibirnya.
Raut wajahnya pucat pasi. Ia masih
tidak bisa bernapas dengan normal. Ia menunduk mencengkram kausnya. Ia
memejamkan matanya, berharap rasa sakit dan kenangan buruk di pikirannya
berhenti.
**
Pukul 1.15 a.m.
Ryan berjalan memasuki rumah
setelah memarkirkan motornya di garasi. Ia membayangkan adiknya sudah tertidur
lelap di kamarnya. Ia sangat suka melihat wajah adiknya saat tidur, karena
adiknya akan terlihat seperti angel. Walau
kalau sudah bangun, anak itu lebih mirip evil.
“Aku pulang,” ucapnya ketika masuk
ke dalam rumah. Ia heran melihat TV yang masih menyala. Tak biasanya anak itu
menonton TV. Anak itu kan sukanya bermain game
sampai tengah malam.
Tagihan listrik bakal naik kalau gini, batinnya
sambil mematikan TV. Ia semakin terheran saat mendapati adiknya tertidur di
atas sofa dengan posisi yang tidak enak. Ia menyentuh pundak anak itu untuk
menyuruhnya pindah. Tapi, Ryan langsung mengernyitkan dahinya saat merasakan
tubuh adiknya yang panas. Ia menyibak poni yang menutupi dahi Leo untuk
mengecek suhu tubuh Leo.
Ryan terkejut ketika melihat luka
di pelipis Leo, memar di pipi anak itu, dan luka di ujung bibir Leo. “Leo, kamu
habis berkelahi?” ucap Ryan lirih.
Tapi ternyata Leo bisa terbangun.
Anak itu membuka matanya. “Ryan?” panggilnyaㅡtak bisa
menyembunyikan rasa leganya. Ia tersenyum, satu hal yang jarang Leo lakukan.
“Iya. Aku di sini,” ucap Ryan
sambil mengusap kepala Leo. Ia ingin bertanya dari mana luka-luka itu berasal,
tapi ia urung menanyakannya. Karena ia tak ingin merusak mood anak itu. Ia sudah diberi senyum manis oleh adiknya, mana
mungkin ia tega membuatnya sedih lagi.
“Aku mimpi buruk tentang Mama dan
Papa,” ujar Leo lirih.
Ryan menatap Leo yang balas
menatapnya dengan tatapan sayu. “Mereka memang hanya mimpi buruk bagi kita.”
Tiba-tiba Leo mengendus bau Ryan
yang berbeda dari biasanya. “You drunk,
smoke, and spent the whole night with a girl,” ucapnya spontan. “Kamu tahu?
Gara-gara mimpi itu, aku enggak bisa napas lagi.”
Rasa bersalah langsung
menggelayuti Ryan. Ia yakin alasan asma Leo kambuh lagi bukan hanya karena
mimpi buruk. Anak itu sudah lama tidak kambuh lagi asmanya, terakhir terjadi
adalah saat mereka tinggal di panti asuhan. Ia yakin alasan sebenarnya adalah
anak itu lelah tapi ia tak pernah menunjukkannya. “Maafin aku, ya,” ucap Ryan
lembut.
“Aku pikir kamu bakal ninggalin
aku lagi.”
“Aku janji enggak akan ninggalin
kamu lagi,” ucap Ryan tanpa ragu sedikit pun. Ia sudah bersumpah di dalam
dirinya. “Ini lukanya dirawat dulu ya,” katanya sambil beranjak berdiri untuk
mengambil kotak P3K.
Leo mendudukan dirinya di atas
sofa. Ia membiarkan Ryan membersihkan lukanya dengan cairan antiseptik. Ia
mengernyit menahan sakit ketika Leo tak sengaja menekan lukanya. Tapi ia
memilih untuk membungkam mulutnya.
“Kenapa kamu bisa luka-luka
begini?” tanya Ryan memecah keheningan di antara mereka berdua.
Leo mengalihkan pandangannyaㅡterlihat ragu untuk bercerita.
“Aku
janji enggak akan bawa kamu ke psikiater,” ucap Ryan untuk mengurangi keraguan
dalam diri Leo.
“Bukan
karena itu. Tapi karena aku berkelahi, seperti yang kamu bilang barusan.”
Ryan sudah menduga. “Sampai
sebegininya?”
Anak itu tidak menjawab lagi.
Wajahnya terlihat lelah. Ryan pun menyerah untuk bertanya. Dalam diam, ia telaten
menutup luka itu dengan plester. “Nah,
sudah.”
Leo menyentuh plester yang ada di
bagian pelipisnya dan di ujung bibirnya. Sementara Ryan membereskan cairan
antiseptik, betadine, dan kapas ke dalam kotaknya lagi.
“Besok kamu enggak usah sekolah.
Istirahat aja, oke?” ucap Ryanㅡtersenyum
menenangkan ke arah adiknya. “Leo, kamu benar enggak mau cerita?” Ryan masih
berharap adiknya mau memberi clue kenapa
luka-luka itu ada di dirinya.
Leo
menggeleng lemah. Ia terlalu capek bahkan untuk berbicara. Seluruh tubuhnya
terasa nyeri. Ia tidak bisa memikirkan apa pun. Ia bahkan tak mau memikirkan
sekolah. Ia hanya berharap seluruh sakit di tubuhnya hilang.
“Mau
pindah ke kamar?”
“Di
sini aja,” jawab Leo tak acuh. Ia mengambil bantal sofa dan merebahkan dirinya
di atas sofa. Ia memejamkan matanya dan merasakan Ryan beranjak berdiri dari
sofa. Tak lama kemudian Ryan kembali dan menyelimutinya. Kemudian, Ryan pun
pergi ke kamarnya.
Leo
membuka matanya karena mimpi itu masih menghantuinya. Ia takut mimpi itu
terjadi lagi.
**
Seattle, AS
Musim
dingin membuat segalanya terlihat memutih. Salju menutupi ranting-ranting,
halaman rumah, jalan raya, dan setiap atap rumah. Langit yang terlihat suram
menghiasi hari. Suhu udara semakin turun dan hujan salju mulai turun dengan
deras.
Seorang
wanita berambut cokelat dan berparas cantik sedang berdiri di depan jendela.
Ekspresi wajahnya sedingin es yang melapisi jendela rumahnya. Ia memeluk
dirinya sendiri karena meskipun rumahnya sudah dilengkapi penghangat ruangan,
ternyata udara dingin di luar masih bisa menyelinap masuk.
“Nyonya,
ada tamu yang mencari Anda,” ucap seorang pelayan membuyarkan lamunannya.
“Siapa
yang datang di tengah salju seperti ini?”
“Saya
tidak tahu,” jawab pelayan itu dengan takut. Ia menunduk tak berani menatap
mata majikannya yang terkenal dingin dan heartless
itu.
Namun
wanita itu tak beranjak dari tempatnya berdiri. Ia terus memandangi salju yang
turun perlahan di halaman rumahnya. “Sudah lama sekali sejak aku tak melihat
wajahnya. Apakah ia masih hidup atau sudah mati? Aku tidak tahu,” ucapnya
dengan jelas.
“Maaf,
Nyonya?”
“Aku
ingin putraku pulang. Ini sudah terlalu lama. Terkadang aku berharap ia muncul
di depan rumah.”
Pelayan
itu menelan ludah. Setahunya wanita berparas cantik itu tidak memiliki putra
seorang pun. Beberapa tetangga sering menggosipkan bahwa Mrs Cameron sering
meracau sendirian. Ia tak menyangka hal itu benar.
“APA
KAU TAK DENGAR?! Carikan aku orang yang bisa menemukannya. Dalam keadaan hidup,
mati, atau batu nisannya.”
“N-nyonya,
tamu Anda sudah menunggu di ruang tamu.”
Wanita
itu seperti tersadar akan sesuatu. Ia menarik napas, membenahi rambutnya lantas
memejamkan matanya. “Maafkan aku, Miss Robin. Aku pasti sudah menakutimu.” Ia
tersenyum ramah ke arah gadis muda yang menjadi pelayan di rumah itu.
Tanpa
sadar ia menahan napasnya karena tegang. Namun ia masih menjaga sikapnya karena
khawatir Nyonya-nya akan tersinggung jika mengetahui ia baru saja ketakutan
setengah mati pada wanita anggun itu. “Silakan, Nyonya.” Ia membungkuk memberi
jalan pada Mrs Cameron.
**
31 Januari 2018
Pagi
itu, Ryan bangun dan merasa lelah. Ia yakin ini karena ia baru bisa tidur pukul
empat pagi. Padahal ia harus mulai bekerja di kantor pukul delapan pagi. Literally, ia baru tidur selama dua jam.
Ia merasa sepertinya ia harus istirahat saja di rumah. Tapi ia harus berangkat
ke kantor hari ini karena selama ini leader-nya
sudah memberikan kelonggaran sehingga ia bisa bekerja dari rumah.
Ia
mengecek suhu badan Leo yang terasa sangat panas dengan termometer. 38,3 derajat Celcius, ucapnya dalam hati
dengan khawatir. Pipi anak itu terlihat memerah karena suhu badannya yang
tinggi. Ini mah bener-bener enggak bisa
ditinggal. Ryan mengambil handphone-nyaㅡberniat menelepon untuk izin.
“Kamu
kerja. Aku nggak apa-apa sendirian,” ujar Leo sambil mengulurkan tangannya
untuk menahan Ryan menelepon boss-nya.
Ryan
sangsi. Adiknya terlihat seperti akan ambruk kapan saja. Anak itu benar-benar
kelelahan, tapi masih memaksakan diri untuk terlihat ceriaㅡsangat berbeda dengan dengan tadi
malam. “Aku nggak apa-apa,” kata Leo lagi sungguh-sungguh.
“Beneran?”
“Iya,
Kakak.”
Ryan
menghela napas. Ia tak punya pilihan lain. “Baiklah. Hari ini tidur aja ya.
Jangan kemana-mana! Aku sudah buatkan sup di meja makan. Di sampingnya ada
obat. Jangan lupa diminum!” ucap Ryan panjang-lebar.
Leo
mengangguk. “Oke.”
“Perlu
kuambilkan ke sini?”
“Enggak
usah. Aku masih bisa jalan.”
“Ya
sudah, aku berangkat kerja dulu ya?” kata Ryan sambil mengusap rambut cokelat
adiknya dengan gemas. Lantas beranjak pergi meninggalkan kamar Leo.
Begitu
Ryan keluar dari kamarnya, ia langsung mengempaskan tubuhnya ke atas tempat
tidurㅡmengatur napasnya agar
tak tersengal.
**
Sekolah
Hari
itu, Jeff dan Nathan membeli makan siang bersama lalu sepakat untuk
menghabiskannya di atap sekolah. Jeff merasa sudah lama tidak pergi ke tempat
itu. Sesampainya di atap, ia berjalan santai menuju tempat teduh favoritnya. Ia
sama sekali tak terlihat kelelahan setelah menaiki tangga tiga lantai.
Nathan
menghapus keringatnya saat sampai di bagian paling atas gedung sekolah. “Sial.
Tahu begitu aku mengajakmu makan di kantin aja,” keluhnya. Namun saat ia
melihat pemandangan kota Yogyakarta yang membentang luas, rasa capeknya langsung
hilang. Angin semilir menyentuh pori-pori wajahnya.
“Gimana?
Bagus kan?” Jeff terlihat seperti ia sedang berada di rumahnya.
Nathan
mengangguk. Tempat yang tinggi memang selalu menawarkan pemandangan yang akan
terbayar oleh lelahnya saat mendaki. Ia sudah sering hiking dan kamping. Itulah sebabnya ia sangat menyukai pemandangan
bumi yang terlihat dari atas.
“Woy,
udah! Ayo makan! Gue kelaparan!” seru Jeff yang sudah tidak sabar untuk makan
siang.
Nathan
segera tersadar dari kekagumannya. Ia pun mengambil tempat duduk di samping
Jeff dan mulai memakan nasi goreng yang tadi ia beli di kantin.
“Leo
kenapa enggak ikut?” tanya Nathan tiba-tibaㅡsetelah menyadari kalau selama dua
hari ini mereka selalu makan berdua.
“Dia
enggak masuk sekolah. Kemarin bolos dari jam istirahat sampai pulang. Sekarang
bolos dari awal sampai pulang. Kenapa ya dia?” Cowok urakan itu terlihat
memikirkan temannya.
“Kemarin
aku lihat dia sepulang sekolah…”
Jeff
mengernyit. “Di mana?”
“Di
koridor sekolah. Kemarin aku lihat dia… kalau aku enggak salah lihat, mukanya
babak belur. Di tangannya juga ada biru lebam. Aku panggil dia, tapi dia malah
menghindar.”
“Hah?!”
Mata Jeff terbelalak. Ia hampir tersedak oleh makanannya. “Kenapa dia enggak
minta tolong kalau dihajar sampai sebegitunya?”
“Tahu
dari mana dia dihajar?”
“Leo
itu anak yang rentan banget dibully.”
“Kenapa?”
“Mungkin
karena mukanya yang songong,” jawab Jeff sambil mengendikan bahunya. Ia
menghela napas panjang. “Dia enggak pernah cerita apa pun seolah-olah kita ini
bukan temannya.”
Nathan
memandang langit yang mulai mendung di atasnya. Samar terdengar suara petir
menyambar. Ia teringat kejadian bulan lalu, saat mereka bertiga pergi kamping.
Melihat kilat petir di langit membuatnya teringat pada Leo.
“Nat,
sekarang udah jam setengah 2 lebih ternyata,” kata Jeff yang membuat Nathan
langsung terkesiap. Bel masuk setelah istirahat kedua berbunyi pukul 1 siang.
Itu berarti mereka sudah telat masuk kelas selama 30 menit.
Mereka
berdua pun langsung menyusuri tangga dengan cepat. Tanpa sadar Jeff terpengaruh
oleh Nathan menjadi siswa baik-baik. Wait,
kenapa gue jadi ikutan Nathan?
**
Suara
handphone membangunkan tidur
nyenyaknya. Ia mencari-cari handphone-nya
yang bersembunyi di balik selimut. Tak lama kemudian, ia mendapatkan handphone-nya dan melihat jam. Pukul 17.00.
Itu berarti ia sudah tertidur selama sepuluh jam penuh. Sebenarnya ia
bolak-balik terbangun karena mimpi buruk yang menerornya. Tapi paling tidak ia
bisa mengistirahatkan tubuhnya sehari penuh.
Setelah
membaca ID Caller, ia mengangkat
telepon itu.
“Leo? Udah bangun? Gimana perasaanmu?”
“Mendingan,”
jawab Leo sambil bermalas-malasan di kasurnya.
“Oh, syukur. Leo, tolong ambilkan sepatuku
yang lagi dijemur di halaman depan ya?”
“Iya.”
Jadi itu tujuan kakaknya meneleponnya.
“Sekarang. Udah mulai gerimis!”
“Hmmmyaa.”
Leo menutup telepon itu. Suara tetesan hujan yang mulai jatuh ke genting rumah
terdengar dari dalam kamarnya. Ia pun beranjak bangun untuk mengambil sepatu
Ryan di halaman depan.
Langit
sangat mendung saat ia keluar. Petir menyambar di langit, membuatnya langsung
menutup telinganya. Ia cepat-cepat menyelamatkan sepatu kets Ryan yang baru
dicuci itu.
Saat
ia menoleh ke rumah tetangga sebelah, ia mendapati Budhe Ayu sedang berdiri
sambil menatap cemas ke arah jalan.
“Budhe,
ada apa?” tanya Leo tak bisa menahan penasarannya. Ia berharap bisa melakukan
sesuatu agar tetangganya itu tidak cemas lagi.
“Fio
belum pulang. Kayaknya merajuk jadinya pergi dari rumah enggak bilang-bilang. Tadi
Ibunya Fio datang dan mereka langsung bertengkar pas bertemu.” Budhe Ayu sudah
siap mengambil payung untuk mencari Fio di tengah hujan.
“Biar
aku aja, Budhe!” ucap Leo spontan, tanpa berpikir kalau ia masih demam. Ia
berlari mengambil jaket hoodie dan
payung di dalam rumah, kemudian kembali lagi ke teras rumah dengan cepat.
Budhe
Ayu tidak tahu kalau anak berusia 15 tahun itu sedang demam. “Eh ndhak papa Mas Leo?” tanya beliau.
“Enggak
apa-apa, Budhe,” jawabnya sambil berjalan menuju jalan yang mulai digenangi
air. Dalam sekejap hujan menjadi deras. Ia tahu di mana Fio biasanya berada
kalau ia sedang jenuh. Beberapa bulan yang lalu, orang tua Fio bercerai. Orang
tua Fio adalah orang tua yang sibuk bekerja. Jadilah Fio dititipkan di
Budhe-nya untuk sementara waktu, karena beliau adalah sanak saudara yang
terdekat.
Leo
menemukan gadis kecil itu di tengah taman. Ia sedang duduk di ayunan besar yang
sering menjadi tempat baby sitter menyuapi
anak majikannya. Gadis kecil itu basah kuyup tapi seperti tidak peduli dengan
keadaannya sendiri.
Fio
mendongak ke atas saat tiba-tiba merasa tubuhnya tidak terhujani lagi. Sebuah
payung menaunginya. Ia mencari siapa yang memayunginya. “Mas Leo?”
“Budhe
cari kamu. Pulang,” ucap Leo pendek. Sekarang giliran ia yang terguyur air
hujan. Ia tanpa ragu memayungi Fio sepenuhnya, sehingga gadis kecil itu tidak
kehujanan lagi.
“Enggak.”
“Kamu
bisa sakit kalau di sini terus!” ucap Leo agak kerasㅡberusaha mengalahkan suara hujan.
“Biarin.”
Leo
yang sudah berulang kali merasakan sakit yang hampir merenggut nyawanya menatap
Fio dengan tatapan marah. Tapi ia mengendalikannya dengan baik. “Pulang, Fiona.
Budhe khawatir.”
“Hiks…
Bukan Bundaku yang khawatir.” Gadis kecil itu mulai menangis sejadi-jadinya.
Sepertinya akan sulit membujuknya untuk pulang. Leo pun memutuskan untuk duduk
di kursi ayunan yang ada di depan Fio.
“Pasti
khawatir. Mana ada Ibu yang enggak khawatir sama anaknya?” Leo merasakan
kegetiran saat ia mengucapkan kalimat itu. Hati kecilnya langsung menjawab tentu saja ada yaitu Mama. Ia berharap
Fio tidak mendengar keraguan di suaranya.
“Tapi
Bunda selalu enggak peduli. Aku enggak mau ketemu Bunda!”
Leo
menggigit bibirnya. Ia tak tahu harus berkata manis apa lagi. Tapi ia harus
membawa Fio pulang. Gadis itu sudah gemetar kedinginan. Tanpa berkata lagi, ia
menggendong tubuh Fio di punggungnya. Berulang kali Fio memberontak dan ia
kesusahan memegang payung. Fio berulang kali memukul punggungnya dengan brutal.
Gadis tomboi itu ternyata punya pukulan yang keras juga.
Walau
begitu Leo menahan agar gadis kecil itu tidak jatuh hingga sampai di teras
rumah Budhe Ayu. Ternyata Bunda Fiona sudah menunggu di ambang pintu rumah.
Wanita itu masih muda. Rambutnya juga pendek seperti Fio sehingga membuat wajah
mereka sangat mirip. Sepertinya beliau adalah PNS dilihat dari seragamnya. Fio
menangis di pelukan Bundanya.
“Terima
kasih, Leo.”
Leo
tersenyum kemudian pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia baru sadar
seluruh tubuhnya basah kuyup. Bibirnya membiru karena kedinginan. Ia menggigil.
Tubuhnya makin drop. Kalau Ryan tahu
dirinya pergi hujan-hujanan, ia yakin akan dimarahi habis-habisan.
**
20.15
Ryan
mengernyit melihat termometer di tangannya. 38
derajat Celcius. Lantas ia menatap curiga ke arah Leo yang bersembunyi di
bawah selimut.
“Leo,
katanya udah mendingan. Tapi kok demammu malah makin parah ya?”
Leo
keluar dari selimutnya. Bahkan wajahnya yang sekarang lebih kacau dari yang
tadi pagi. Sekarang nyerinya bertambah di punggung karena tadi Fio memukul
dirinya tepat di bekas memar di punggungnya. Kali ini ia tidak berpura-pura
kuat lagi seperti tadi pagi. “Tapi tadi sore badanku mendingan.”
Ryan
berdecak. Kalau mau nyenengin Kakak,
enggak usah bohong juga. “Ya udah, besok kamu enggak usah sekolah lagi.
Besok kamu harus istirahat benar-benar, Leo.”
Leo
mengangguk pelan. Kepalanya memang pening setelah tadi sore hujan-hujanan.
Namun, ia tak berani menceritakannya pada Ryan.
Ryan
menatap Leo heran. Tidak biasanya anak ini menurut pada ucapannya sekali.
Biasanya Leo akan mengeluh kalau disuruh istirahat penuh. Apakah Leo tidak
mendengarnya barusan? “Leo?”
“Aku
dengar,” ucap Leo seolah bisa mendengar suara pikiran Ryan.
“Apa perlu
besok aku di rumah aja?”
Leo langsung
menjawab ketus. “Enggak. Emangnya aku bayi yang harus diawasi kalau sakit?” Ia
sendiri tidak sadar nada suaranya ketus.
“Oke.
Kalau begitu aku keluar dulu,” ucap Ryan sambil beranjak dari pinggir tempat
tidur Leo.
Setelah
Ryan keluar dari kamarnya, ia mengambil handphone-nya.
Ada banyak pesan whatsapp masuk setelah ia mengabaikan handphone-nya seharian. Ia melihat ada beberapa pesan dari nomor
tak dikenal yang isinya mencaci maki dirinya.
Lalu, ia
melihat pesan berikutnya dari Nathan dan Jeffrey. Ia juga melihat pesan dari
Ibu angkat yang menanyakan kabarnya. Ia membalas pesan dari Ibu angkatnya
terlebih dahulu karena itu yang paling mudah dijawab. Ia hanya perlu mengetik
cepat kalau ia baik-baik saja, ia tidak sakit, dan sekolahnya oke. (Ketika semuanya
sebenarnya kebalikannya)
Ia membuka
pesan dari Jeffrey.
Jeffry
Leo, lo
habis urusan sama siapa?
Leo
Urusan
apa?
Jeffry
Theo nybar
berita kalo lo itu brutal dan sakit jiwa.
Dia blg lo
kemarin hajar dy dan dy punya luka jahit di pelipisnya
Leo
Luka
jahit?
Kok
lo tau itu luka jahit? Emang kaya gimana?
Jeffry
Dy pkk
plester sih
Gw jg ga
percaya
Bukan lo
kan??
Leo
Bukan.
Leo membaca
berita itu dengan geram. Justru dia yang
dihajar oleh Theo sampai babak belur. Kenapa cowok keparat itu justru memutar
balik fakta? Leo pun membuka pesan dari Nathan.
Nathan
Leo,
kenapa ga masuk?
Leo
Sakit
Nathan
Ooh
syukur… Aku kira kamu kenapa
Leo
Kamu
bersyukur aku sakit?
Nathan
Bukan
gitu, Leo. Aku kira kamu lagi kena masalah….
Leo
Aku
ga bakal lari dari masalah.
Nathan
Yee, aku
tau.
Besok aku
jengkuk ya
*jenguk
Leo
Bawa
snack yang banyak
Rasanya
Leo ingin pergi ke sekolah besok karena ingin tahu apa yang terjadi setelah
kejadian itu. Theo sialan. Ia paham
kenapa ada banyak pesan whatsap yang penuh kebencian yang menyuruhnya mati, enyah, atau pergi dari muka bumi ini. Penyebabnya tak lain adalah Theo.
Leo
meletakkan handphone-nya di nakas
samping tempat tidurnya. Ia tidak memikirkan semua kata-kata hateful itu. Ia tidak masalah pada
kata-kata itu karena ia sering mendengar ucapan itu sewaktu masih kecil. Ia
memikirkan bagaimana Theo membalikkan fakta dan sama sekali tak merasa bersalah
setelah memukulnya dengan kayu sampai kolaps. Sosiopat gila. Seandainya orang tuanya tak punya banyak uang, ia
pasti tidak akan bisa pura-pura sok berkuasa seperti itu.
Tak lama
kemudian, Leo memejamkan matanya. Ia tidak bisa menyangkal kalau kepalanya
sakit dan ia lelah berpikir.
**
“Leo tidak akan bertahan setelah
pengeboman itu.”
“Kami menemukannya di bawah
reruntuhan. Ia bersembunyi dengan baik di bawah meja yang kuat.”
Seorang laki-laki menatap bangunan
rumah itu yang kini terlihat hancur. Ia tak percaya dengan informasi yang baru
diterimanya. “Dia tidak akan hidup lama. Aku ingin dia enyah dari kehidupanku.”
Sosok yang berdiri di samping
laki-laki tua itu hanya bisa terdiam. Anak yang bernama Leo itu memang masih
bernapas tapi ia akan dibuang.
TO BE CONTINUE
0 comments