Forgive Me [PART 1]

September 04, 2019


Forgive Me

Kejadian 7 tahun yang lalu membuatku menjadi lebih protektif pada adikku.
Aku tak ingin ada yang menyakitinya lagi seperti saat 7 tahun yang lalu.
Aku berjanji pada diriku sendiri, akan melindungi Leo apa pun yang terjadi.

Author POV
Sabtu, 16 Desember 2017
Yogyakarta

Suasana pagi ini terasa sangat hening. Hanya terdengar suara samar tetangga yang sedang berbincang-bincang di luar. Cowok berkacamata itu menghirup kopi kentalnya sambil membaca sebuah artikel di layar laptopnya tentang gempa berkekuatan 7,4 SR yang melanda sebagian besar daerah Pulau Jawa.

Ia menghela napas setelah membaca berita itu, lantas berniat untuk melanjutkan pekerjaannya. Namun pikirannya teralihkan oleh anak laki-laki yang tertidur di sampingnya dengan posisi kepala terkulai di atas meja di ruang tengah.

 “Leo?”

Anak yang dipanggil Leo itu tidak bergerak dari posisi duduknya. Ryannama cowok berkacamat ituingin membangunkan adiknya, tapi tidak tega karena anak itu baru bisa tidur sejam yang lalu. Yeah, semalam adiknya bersikeras tidak mau tidur lagi setelah terjadi gempa.

Ryan  melihat ke arah jam dinding yang ada di ruang tengahtempatnya berada sekarang. Pukul 10 pagi. Dan jadwalnya hari ini adalah mengambil raport Leo. Bisa-bisa adiknya ngambek, kalau raportnya tidak diambil. Ya, adiknya yang satu ini memang terkadang sangat childish. Sifat childish-nya kadang membuat Ryan tak percaya adiknya sudah berusia 15 tahun.

Ryan terkejut saat ponselnya tiba-tiba berdering keras dengan ringtone lagu campursari. Ia terkekeh mendengar lagu itu. Sebenarnya ia sangat suka lagu-lagu campursari, tapi adiknya selalu mengeluh tiap kali ia menyetel lagu seperti itu saat sedang bekerja di rumah. “Dasar orang kuno!” Begitu  ejek Leo tiap kali ia sedang menikmati musik favoritnya itu.

Saking sebalnya, Leo mengganti ringtone ponselnya dengan lagu yang lebih modern, Maroon 5 – Payphone. Wajah Leo langsung puas saat ia mendengar style lagunya tiap kali handphone Ryan berbunyi.

“Astaga, ambil raport-nya sampai jam 10?!” gumam Ryan saat membaca reminder di layar handphone-nya. Ia pikir jadwal ambil raport adiknya sampai jam 12 siang seperti waktu SMP. Ternyata tidak. Aish… Ia bahkan belum mandi!

**

Ryan agak berlari ketika tiba di sekolah adiknya. Ia memarkirkan motornya di halaman depan sekolah, bersama dengan kendaraan orang tua murid yang lain. Anak-anak berseragam pramuka hilir mudik di koridor sekolah bersama orangtua mereka yang sudah memegang buku raport. Ia berjalan cepat menuju ruang kelas adiknya di lantai 1.

“Mas Ryan!” panggil seseorang yang membuat Ryan menoleh. Ya ampun, panggilnya bentar dulu dong.

“Hei, Nathan,” balas Ryan sambil tersenyum simpulmemamerkan dimple-nya.

“Leo mana?” tanya Nathan, nama seorang teman Leo. Ia sedang berdiri di luar ruang kelasnya, sedang menunggu orang tuanya mengambil raport. Ia cukup dekat dengan Ryan karena sering bertemu saat ia mampir ke rumah Leo.

“Di rumah. Kamu kapan main ke rumah lagi?”

“Besok. Sekalian jemput Leo buat kamping,” jawab Nathan.

Ryan langsung mengernyitkan dahinya. Kamping? Leo sama sekali belum bilang soal itu, batinnya protes. Tapi ia teringat harus mengambil raport adiknya dulu. Tadinya, ia mau menanyakan soal kamping pada Nathan setelah mengambil raport adiknya. Tapi…

“Mas, aku pulang dulu ya? Bapakku udah selesai ambil raport,” kata Nathan kemudian berlalu bersama orang tuanya yang sudah keluar dari ruangan kelas.

“Yo, kutunggu besok,” sahut Ryan sambil melambaikan tangannya sekilas.

Ryan merasa tidak setuju adiknya ikut kamping. Tapi kalau ia bersikap terlalu mengekang, yang ada Leo akan memberontak. Jadi, ah sudahlah…

“Anda kakaknya Leonard?” tanya Bu Lilik, membuyarkan lamunan Ryan. Wanita itu merupakan wali kelas X IPA 3kelasnya Leo. Entah kenapa, wanita itu menatap curiga ke arah Ryan. Melihat Ryan yang canggung, membuatnya langsung tersenyum ramah.

 “Iya, Bu. Saya Ryan, kakaknya Leo,” jawab Ryan cepat. Sepetinya ia baru saja berprasangka buruk pada guru di depannya.

“Apakah Leo punya masalah sejak dari SMP?” tanya Bu Lilik to the point.

“Masalah seperti apa ya, Bu?” Ryan balas bertanya, karena ia tak paham. Selama ini, yang ia tahu Leo bukan tipe pembuat onar di sekolah. Menurutnya, Leo termasuk kategori anak yang penurut. Tapi ia tahu, Leo kurang supel, bahkan cenderung anti-social. Tapi mau bagaimana lagi? 

“Masalah pendengaran,” jawab Bu Lilik.

“Eh? Dia sering enggak paham di kelas ya? Nilainya jelek ya, Bu?”

“Bukan. Nilai Leo yang terbaik di kelas…” Tiba-tiba Bu Lilik terlihat enggan untuk melanjutkan perkataannya.

“Anda tidak menyuruh Leo pindah ke sekolah khusus kan? Dia tidak tuli sepenuhnya. Saya pikir sekolah ini tidak menolak siswa yang punya disabilitas,” kata Ryanmulai paham apa yang dimaksud wanita di hadapannya.

Bu Lilik tertawa hambar. “Ah, saya sama sekali tidak bermaksud demikian. Kami butuh anak genius seperti Leo. Coba saja dia mau mengikuti pelatihan olimpiade. Sayangnya dia selalu menolak.” Ia memberikan raport milik Leo pada Ryan.

“Anak itu hanya perlu dibujuk saja, Bu. Pasti mau,” kata Ryan sambil menerima buku raport itu. Kemudian ia berjalan keluar kelas. Ia merasa beruntung, bukan wali murid yang mengambil raport terakhir.

Sambil berjalan menuju halaman sekolah, ia merasa aneh. Biasanya guru-guru Leo saat SMP selalu melaporkan kejadian Leo bersikap aneh, selain sulit bersosialisasi. Tapi ini tidak. Mungkinkah guru tadi menyembunyikan sesuatu?

Kayaknya aku overthinking. Mungkin Leo benar-benar udah berubah menjaid lebih terkendali sekarang.

**

Sesampainya di halaman rumah, Ryan menyapa tetangganya yang sedang memberi makan burung peliharaannya. Ia cukup dekat dengan tetangganya tersebut. Menurutnya, menjalin hubungan baik dengan tetangga sangat menguntungkan terutama saat ia sedang kesulitan. Yeah, memang faktanya begitu.

Tak lama kemudian, seorang wanita keibuan yang sudah berusia setengah abad keluar menyapanya sambil membawakan sepiring bolu kukus untuknya.

“Dek Ryan, ini untuk kalian ya,” ucap Ibu Ayunama wanita ituyang lebih suka dipanggil Budhe oleh tetangga-tetangganya. Ia adalah istri Pak Tio, tetangganya yang hobi memelihara burung.

Ryan bergegas menerima piring yang masih hangat itu. “Matur nuwun, Budhe. Jadi ngerepotin,” ujarnya sambil tersenyum ramah.

“Di rumah ndhak ada yang makan. Bapak ndhak doyan. Dimakan ya, Dek Ryan,” ucap Ibu Ayu ramah dengan logat Yogya-nya yang sangat kental.

Ryan tahu, wanita itu memang suka membuat sesuatu lantas membagikannya ke para tetangga. Biasanya, ia berikan pada cucunya. Tapi sepertinya cucu-cucunya belum pulang ke Yogyakarta.

Ryan pun memasuki rumah sewanya. Rumah itu kecil, namun pas unuk ditinggali berdua bersama Leo. Ia sudah tidak tinggal bersama kedua orang tua angkatnya, sejak setahun yang lalu. Setelah perusahaan tempatnya bekerja bangkrut, ia pergi ke Yogyakarta karena mendapat pekerjaan baru menjadi designer website.

Rumah bercat oranye itu berada di lingkungan perumahan warga yang rata-rata penghuninya sudah beranak-cucu. Jadi, tidak heran kalau kebanyakan tetangganya adalah sepasang suami istri yang sedang menikmati masa tuanya setelah pensiun.

Cowok itu melepas jaket kulitnya dan menaruhnya sembarang di atas sofa ruang tengah. Ia merasa lega, ternyata adiknya masih tertidur nyaman di ruang tengah. Kali ini posisinya sudah berubah menjadi meringkuk di atas sofa.

Ia menaruh piring bolu kukus dan raport adiknya di atas meja. Ia melihat sekilas nilai yang diperoleh adiknya dan tak berkomentar apa pun. Entah kenapa sejak kejadian 10 tahun yang lalu, ia sudah kehilangan minat pada hal-hal yang biasanya orang normal tertarik. Ia menganggap nilai bukan penentu segalanya. Nilai hanya angka yang kadang bisa membohongi. (Tapi ia percaya adiknya selalu jujur kalau ulangan.)

Leo terbangun karena ia terjatuh dari atas sofa. Ia mengaduh pelan dan mengusap bokongnya yang menyentuh lantai duluan. “Aduh,” gumamnya sambil mendudukan dirinya lantas menatap ke sekelilingnya, mencari Ryan. “RYAN??!” panggilnya.

“Hm, apa?” sahut Ryan dari dapur.

Meskipun perbedaan umur Ryan dan Leo sangat jauh, Leo terbiasa memanggil langsung nama kakaknya tanpa tambahan ‘Kakak’. Ryan tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Ia justru lebih nyaman dipanggil nama langsung. Yeah, mungkin karena mereka pernah tinggal di Amerika.

Leo beranjak bangun, tapi mendadak kepalanya terasa sangat pusing.

Sementara itu, Ryan sedang memasak sesuatu untuk makan siang mereka berdua. Ia bisa memasak karena pernah bekerja paruh waktu di sebuah restoran. Kebetulan chef-nya baik, sehingga ia diajari memasak sampai bisa. Ia berjalan menuju kulkas untuk mengambil udang yang akan ia masak. Tapi ia merasa ada yang ganjil di dalam kulkas tersebut. Seperti ada yang kurang…

Argh… Kenapa rasanya kayak ada yang kurang ya? Tapi apa? batinnya sambil menatap kulkasnya yang berisi sayuran, telur, jajanan yang sudah terbuka, susu, dan cokelat yang tinggal bungkusnyapadahal Ryan membeli cokelat itu untuk dirinya sendiri.

Leo mengacak-acak rambutnya. Kepalanya masih pusing namun ia belum bisa mendeteksi penyebabnya. Tiba-tiba ia mulai merasa mual. Jadi, ini yang namanya hang-over ya?

Akhirnya Ryan sadar. “Leo, kamu minum bir-ku hah?!” Ryan berjalan menuju ruang tengah sambilmasihmemegang sodet.

Leo sudah menghilang dari ruang tengah. Anak itu berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Rautnya pucat pasi karena ini pertama kalinya ia terkena hang-over.

“Leo, kamu minum semuanya?” tanya Ryan di depan pintu kamar mandi. Ia terlihat murka mengetahui adiknya sudah berani mencoba sesuatu yang belum boleh dilakukannya karena ia masih di bawaha umur.  

Leo menunduk di atas kloset. Ia mengusap bibirnya dengan punggung tangannya. “Cuma 3.”

“Itu berarti kamu minum semuanya!” Ryan menyesal telah menyimpan tiga kaleng bir beralkohol rendah di dalam kulkas. Adiknya yang baru pertama kali minum alkohol langsung muntah padahal bir yang ia beli seharusnya tidak sampai membuat hang-over. “Kamu tahu umurmu berapa, Leo?”

Leo menoleh ke arah kakaknya dengan sorot terluka karena ia muntah tapi tidak diberi pertolongan apa pun. “15.”

“Kenapa kamu minum hah?”

“Aku penasaran!” jawab Leo ketus.

“Kamu tahu kan minuman beralkohol itu buat orang di atas 18 tahun?”

Leo berjalan keluar kamar mandi, kemudian mendudukan dirinya di kursi meja makan. Ia membenamkan wajahnya pada kedua tangannya. Ia tak berkata apa-apa lagi. Kepalanya masih pening. Tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkannya.

Ryan masih ingin menginterogasi adiknya, tapi melihat wajah kusut adiknya membuatnya urung bertanya. Ia melanjutkan masaknya di dapur. Sejak kapan adiknya berani minum minuman beralkohol? Kemana adik polosnya itu?

Tak seperti biasanya, mereka berdua saling diam dan sibuk di pikiran masing-masing.

**

“Maaf.”

Ryan sedang menata piring di atas meja makan, saat Leo meminta maaf. Anak itu tidak menatap langsung matanya karena gengsi. Yeah, mungkin itu yang Ryan suka dari adiknya. Adiknya selalu degan polos meminta maaf duluan.

Ryan menyodorkan segelas air hangat pada Leopertanda damai dengan Leo.

“Tadi malam, aku lihat bir di kulkas. Terus aku minum waktu kamu udah tidur,” jelas Leo tanpa diminta.

“Jangan lagi sampai umurmu 18.”

Kelamaan! Leo tidak terima dalam hati, tapi ia mengangguk saja. “Beliin aku red wine mahal di ultahku yang ke-18,” ucapnya tanpa sadar menyuarakan pikirannya.

“Leo? Kamu udah sadar kan?”

“Udah,” jawab Leo. “Kamu udah pergi ambil raport-ku kan? Nilaiku bagus enggak?”

Hal lain yang Ryan sukai dari adiknya adalah Leo masih bisa menanggapi hal-hal kecil di sekitarnya. Terkadang ia sangat tulus sehingga membuatnya terlihat naif.

“Bagus kok,” jawab Ryan sambil menuang nasi ke dua piring. “Leo, jangan lagi-lagi minum ya. Aku minta jangan,” ucap Ryan yang masih belum bisa move on dari topik pertama.

Leo terlihat badmood lagi. Ia paling tidak suka kata ‘jangan’, ‘don’t’, atau kalimat-kalimat yang melaranganya melakukan sesuatu. Tapi ia sedang malas berdebat, jadi ia iyakan saja.

Wajah Leo tidak seperti Ryan. Sifatnya juga sangat merupakan kebalikannya Ryan. Leo memiliki wajah Asia, rambut cokelat brunette, mata berwarna gelap, hidung yang mancung, dan kulit putih cenderung pucat. Tinggi tubuhnya 180 cm dengan berat badan

. Sedangkan Ryan memiliki wajah Amerika yang berasal dari Papanya. Ryan tak mengerti kenapa bisa begitu. Tapi ia sangat yakin, dirinya dan Leo berasal dari orang tua yang sama.


“Apa? Aku enggak pernah bolos! Bolos itu tulisannya Alpha kalau di absen. Aku kan seringnya sakit!” sergah Leo tidak terima.

“Yaa… Maksudnya Bu Lilik itu. Semester depan jangan sering sakit lagi. Masa sampai 15 hari keterangan sakit?”

“Kamu kan tahu sendiri, aku sakit beneran dan kalo udah sakit kayak orang mau mati,” ujar Leo enteng sambil memainkan remote TV. 

“Tapi kamu pernah kan ngaku sakit padahal cuma mau main game seharian di rumah. Hayo!!”

“Tapi sehari sebelumnya aku beneran sakit. Itu namanya pemulihan diri setelah sakit,” balas Leo tak kehabisan ide.

Ryan membungkam mulutnya. Sepertinya percuma berdebat dengan Leo. Pasti selalu adiknya yang menang. “Kenapa kamu enggak bilang kalau besok mau pergi kemping sama Nathan?”

Leo langsung menoleh ke arah Ryan. “Kok tahu?”

“Kamu enggak berniat buat kabur kan? Ingat peraturannya, harus izin kalau mau keluar.”

“Izinnya kan ke aku. Jadi aku udah menuruti peraturannya kan?”

Ryan jadi ingin mencuit pipi adiknya atau menjambak rambut brunette adiknya. “Tapi kamu tahu kan di luar itu berbahaya!”

“Aku udah 15 tahun! Lagian kempingnya deket. Masih daerah sekitaran Jogja. Sama Nathan dan Jeff lagi.”

“Siapa itu Jeff?”

Leo memasang ekspresi seperti orang yang tertangkap basah. Ia menutup mulutnya. Sebenarnya ia masih belum yakin apakah Jeff bisa disebut teman karena cowok yang satu itu awalnya sangat memusuhinya. “Temenku juga,” jawabnya pendek. “Aku boleh ikut kan? Kami udah buat rencana ini dari sebulan yang lalu.”

Ryan terlihat berpikir. “Tapi sekarang lagi musim hujan.”

“Terus kenapa?”

“Kamu kan takut petir, geludug, dan sejenisnya.”

“Kapan aku bilang gitu?”

Ryan menatap adiknya tak percaya. Selama ini kalau ada petir, Ryan langsung lari ke bawah selimut sambil menutup telinga erat-erat. Kadang kalau hujannya seperti badai, ia bisa terkena serangan panik. Jadi… berada di tengah musim hujan yang berisiko petir dan geludug, bukan ide yang bagus.

“Aku kan cuma kadang panik kalau ada geludug soalnya jadi keinget kejadian 10 tahun yang lalu kan?” Leo mengatakan hal itu lambat-lambat.

Ryan tercengang. Ini pertama kalinya Leo berani menyebut insiden 10 tahun yang lalu.

“Tapi aku enggak bakal gitu kalau di depan teman-temanku. Serius. Jadi enggak usah khawatir.” Leo berkata dengan sungguh-sungguh sehingga membuat Ryan tak bisa mengelak lagi. Lagipula adiknya bukan anak kecil lagimeski selamanya Ryan akan menganggap Leo anak kecilyang harus ia awasi. Sekali-sekali Leo harus dihadapkan dengan dunia luar sendirian, tanpa bantuannya.

**

Malamnya, Ryan mendapat pesanan lagi dari klien baru untuk membuat logo perusahaan. Sepertinya ia akan begadang lagi karena deadline yang diberikan cukup singkat. Kalau ia sesuai deadline, uang yang ia peroleh bisa cukup untuk membiayai hidupnya dan adiknya.

Sebelum bekerja sebagai freelancer, ia pernah bekerja di perusahaan nasional selama dua tahun. Tapi dua tahun yang lalu, perusahaan itu bangkrut membuatnya sampai harus melakukan berbagai pekerjaan paruh waktu. Beberapa bulan terakhir, ia kembali membuat design blog dan menjual designnya di internet. Ternyata banyak yang tertarik.

Pekerjaannya kali ini tidak begitu menguntungkan, namun sisi baiknya ia jadi lebih banyak memiliki waktu bersama Leo. Waktu ia bekerja di perusahaan, Leo tinggal di rumah orang tua asuhnya, namun berakhir dengan gagal. Adiknya hanya ingin tinggal bersamanya.

Ryan mengernyitkan dahinya ketika menyadari kalau sekarang sudah memasuki bulan Desember. Itu berarti sebentar lagi, ia harus melunasi biaya sewa rumah ini. Ia langsung mengecek saldonya di bank melalui handphone-nya. “Shit,” umpatnya ketika melihat deretan 7 angka yang ada di layar ponselnya.

“Kenapa mukamu serius banget?” tanya Leo tiba-tiba yang entah sejak kapan sudah duduk di meja makan bersamanya sambil mengunyah spaghetti-nya.

Ryan langsung meletakkan layar handphone-nya di atas meja makan. “Nothing. Kamu baru makan? Ini udah jam berapa coba?”

“Jam 10.38 malam,” jawab Leo enteng. Matanya diam-diam melirik layar handphone kakaknya.

“Kenapa baru makan?”

“Aku baru lapar sekarang.”

Ryan berdecak. “Udah selesai packing-nya buat besok?”

Leo mengangguk.

“Ck, pasti berantakan dan kacau,” kata Ryan sambil beranjak dari meja makan. Ia tidak yakin adiknya bisa mengemas barangnya dengan rapih. Adiknya yang satu ini terkadang suka bertindak seenaknya, jadi bisa saja hasil kerjanya juga ikut berantakan.

Ryan berjalan memasuki kamar Leo dan melihat backpack berwarna biru yang tergeletak di atas kasur. Ia mengecek isinya untuk memastikan adiknya membawa dua benda keramat… inhaler dan alat bantu pendengaran. Tadi malam baru saja adiknya kambuh, bagaimana kalau ia kambuh di tengah-tengah kemping?

“Rapih kan?” Leo berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dada dan bersender di ambang pintu.

Ryan mengangguk. Tiba-tiba ia teringat perkataan guru Leo tadi siang kalau adiknya pernah hampir mencelakai temannya. Ia tidak percaya. Sebelumnya Leo tidak pernah sampai begitu. Apa mungkin Leo menyimpan sesuatu darinya? “Leo

“Yeeaaay~ Jarang-jarang aku dibilang rapih sama kakak sendiri. Menurutmu, aku harus bawa makanan apa?”

Ryan menatap adiknya dengan sorot tak yang sulit diartikan. Ah, kapan-kapan aja deh nanyanya, ucapnya dalam hati. “Besok aku buatin bekal deh.”

“Jangan! Aku beli aja!”

“Loh kenapa? Makananku enggak enak?”

“Bukan gitu. Mending kurencanain sendiri aja,” ucap Leo sambil berjalan keluar dari kamarnya.

“Ya, terserah kamu.” Pikiran Ryan terpecah menjadi dua. Sepertinya mulai besok, ia harus mencari pekerjaan paruh waktu lagi. Ia tak ingin meminjam uang dari orang tua angkatnya. Bagaimana pun caranya, ia harus bisa bertahan.

**

17 Desember 2017

Sudah berulang kali kejadian ini terjadi. Kalau ada masalah, kakakku tidak pernah cerita. Sebagai impasnya, aku juga tidak mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padaku di sekolah. Bukan hal yang baru lagi kalau ada yang menarik alat bantu pendengaranku dengan kasar dan melemparnya ke kolam ikan sekolah. Atau saat aku susah payah menahan, guru di sekolah agar jangan menghubungi Ryan saat aku jatuh di tengah pelajaran olahraga karena tiba-tiba semuanya gelap.

“Leo? Jangan melamun di tengah hutan!” seru Nathan yang sedang menyalakan api unggun, sementara Jeff mengambil beberapa ranting kayu lagi untuk dilempar ke dalam api.

Aku mendapat tugas mendirikan tenda dan menaruh tas ke dalam tenda. Cukup mudah. Karena ini cuma  kemping kecil-kecilan, barang yang kami bawa hanya sedikit. Besoknya kami akan pergi ke air terjun lalu pulang.

“Ini pertama kalinya kamu kemping ya?” tanya Nathan mencoba mencari topik pembicaraan. Sebenarnya, kalau dia bukan teman dekatku yang sudah berbuat baik kepadaku selama di sekolah, aku tidak akan mau melakukan hal seperti ini.

“Yeah,” jawabku sambil melempar ranting ke dalam kobaran api.

Jeff datang sambil menghisap rokoknya di bibir. Ia menatapku dengan sorot datar. Aku pura-pura sibuk menyiapkan makanan yang akan dimakan, karena sebenarnya makanan yang akan dimakan sudah diletakkan di dekat api unggun agar mudah untuk dibakar.

Sebenarnya, aku masih belum mengerti kenapa Nathan mengajakku dan Jeff pergi kemping bersama. Meskipun dia pernah menolongku di sekolah dan menjadi teman sebangkuku, dia selalu sinis padaku. Jadi, kami tidak akan cocok bersama.

Shit. Seharusnya aku menolak ajakan Nathan.

“Nat, aku pergi jalan-jalan sebentar ya,” ucapku untuk menghilangkan suasana canggung.

“Udah hampir jam sembilan malam. Jangan jauh-jauh,” ucap Nathan sambil melihat sekilas jam tangannya. Meskipun badannya kecil, ternyata ia sudah sering pergi hiking dan kemping.

Aku mengangguk lantas berjalan menuju hutan yang gelap dengan ditemani senter. Sudah lama juga, aku enggak pernah pergi refreshing seperti ini. Karena Ryan sibuk mencari uang, aku jadi sering terlantar. Ya, sebenarnya Ryan pernah mengajakku pergi berkemah di dekat laut, tapi aku tolak. Karena aku enggak begitu suka pergi ke alam bebas. Lebih baik stay di rumah, main game.

“Arrgh!” Aku mengibaskan tanganku ke udara, mengusir hewan yang baru saja terbang di dekatku.

Ini alasan kenapa aku enggak suka pergi ke alam bebas -_-‘

Tanpa kusadari, aku udah berada di tengah hutan. Aku melihat ke atas langit dan menyadari kalau malam ini tidak terang bulan. Yang ada justru awan Cumolonimbus berwarna abu-abu. Samar, aku mendengar petir dari kejauhan.

Brother’s always true. Cuaca di bulan Desember lagi rentan hujan yang diiringi petir. Aku mengecek alat bantu pendengaranku yang kutaruh di saku jaket… Siapa tahu petirnya sampai besar banget dan bikin sebelah telingaku tuli lagi. Menyebalkan.

Aku memutuskan untuk kembali ke area kempingku. Air hujan mulai berjatuhan. Awalnya sedikit, lama-lama jadi makin banyak. Aku memakai tudung jaketku dan menatap ke sekeliling. Tadi, aku masih bisa melihat cahaya api unggun yang dibuat Nathan. Tapi, sekarang HILANG! APINYA MATI!

Aku berlari ke arah yang sepertinya benar. YA AMPUN GIMANA KALAU AKU TERSESAT? NO, I DON’T WANT TO DIE HERE!

Tubuhku mulai basah kuyup dan suara geludugnya makin menjadi-jadi. Kilat petir sempat menerangi langit sejenak.

Aku berlari dan menatap ke sekelilingku dengan sorot nanar. Hanya ada pohon di sekelilingku. Petir menyambar lagi, kali ini dengan suara yang lebih keras.

Benar kan, aku teringat kejadian itu lagi yang sudah malas kuingat-ingat. Tapi mau tidak mau kejadian itu teringat lagi karena sekarang segala hal di sekelilingku menjadi sunyi… Kata Ryan, kalau tiba-tiba aku kehilangan pendengaranku lagi, aku jangan panik, karena ini sifatnya hanya temporal…

Bagaimana enggak panik kalau kepalaku tiba-tiba sakit mau pecah gini?




To be continue....

You Might Also Like

0 comments