Forgive Me [PART 1]
September 04, 2019
Forgive Me
Kejadian
7 tahun yang lalu membuatku menjadi lebih protektif pada adikku.
Aku
tak ingin ada yang menyakitinya lagi seperti saat 7 tahun yang lalu.
Aku berjanji
pada diriku sendiri, akan melindungi Leo apa pun yang terjadi.
Author POV
Sabtu, 16
Desember 2017
Yogyakarta
Suasana pagi ini terasa sangat hening. Hanya
terdengar suara samar tetangga yang sedang berbincang-bincang di luar. Cowok
berkacamata itu menghirup kopi kentalnya sambil membaca sebuah artikel di layar
laptopnya tentang gempa berkekuatan 7,4 SR yang melanda sebagian besar daerah
Pulau Jawa.
Ia menghela napas setelah membaca berita itu, lantas
berniat untuk melanjutkan pekerjaannya. Namun pikirannya teralihkan oleh anak
laki-laki yang tertidur di sampingnya dengan posisi kepala terkulai di atas
meja di ruang tengah.
“Leo?”
Anak yang dipanggil Leo itu tidak bergerak dari
posisi duduknya. Ryanㅡnama cowok berkacamat ituㅡingin membangunkan adiknya, tapi
tidak tega karena anak itu baru bisa tidur sejam yang lalu. Yeah, semalam
adiknya bersikeras tidak mau tidur lagi setelah terjadi gempa.
Ryan melihat
ke arah jam dinding yang ada di ruang tengahㅡtempatnya berada
sekarang. Pukul 10 pagi. Dan jadwalnya hari ini adalah mengambil raport Leo.
Bisa-bisa adiknya ngambek, kalau raportnya tidak diambil. Ya, adiknya yang satu
ini memang terkadang sangat childish.
Sifat childish-nya kadang membuat
Ryan tak percaya adiknya sudah berusia 15 tahun.
Ryan terkejut saat ponselnya tiba-tiba berdering
keras dengan ringtone lagu campursari.
Ia terkekeh mendengar lagu itu. Sebenarnya ia sangat suka lagu-lagu campursari,
tapi adiknya selalu mengeluh tiap kali ia menyetel lagu seperti itu saat sedang
bekerja di rumah. “Dasar orang kuno!” Begitu
ejek Leo tiap kali ia sedang menikmati musik favoritnya itu.
Saking sebalnya, Leo mengganti ringtone ponselnya dengan lagu yang lebih modern, Maroon 5 –
Payphone. Wajah Leo langsung puas saat ia mendengar style lagunya tiap kali handphone
Ryan berbunyi.
“Astaga, ambil raport-nya sampai jam 10?!” gumam Ryan
saat membaca reminder di layar handphone-nya. Ia pikir jadwal ambil
raport adiknya sampai jam 12 siang seperti waktu SMP. Ternyata tidak. Aish… Ia
bahkan belum mandi!
**
Ryan agak berlari ketika tiba di sekolah adiknya. Ia
memarkirkan motornya di halaman depan sekolah, bersama dengan kendaraan orang
tua murid yang lain. Anak-anak berseragam pramuka hilir mudik di koridor
sekolah bersama orangtua mereka yang sudah memegang buku raport. Ia berjalan
cepat menuju ruang kelas adiknya di lantai 1.
“Mas Ryan!” panggil seseorang yang membuat Ryan
menoleh. Ya ampun, panggilnya bentar dulu
dong.
“Hei, Nathan,” balas Ryan sambil tersenyum simpulㅡmemamerkan
dimple-nya.
“Leo mana?” tanya Nathan, nama seorang teman Leo. Ia
sedang berdiri di luar ruang kelasnya, sedang menunggu orang tuanya mengambil
raport. Ia cukup dekat dengan Ryan karena sering bertemu saat ia mampir ke
rumah Leo.
“Di rumah. Kamu kapan main ke rumah lagi?”
“Besok. Sekalian jemput Leo buat kamping,” jawab
Nathan.
Ryan langsung mengernyitkan dahinya. Kamping? Leo sama sekali belum bilang soal
itu, batinnya protes. Tapi ia teringat harus mengambil raport adiknya dulu.
Tadinya, ia mau menanyakan soal kamping pada Nathan setelah mengambil raport
adiknya. Tapi…
“Mas, aku pulang dulu ya? Bapakku udah selesai ambil
raport,” kata Nathan kemudian berlalu bersama orang tuanya yang sudah keluar
dari ruangan kelas.
“Yo, kutunggu besok,” sahut Ryan sambil melambaikan
tangannya sekilas.
Ryan merasa tidak setuju adiknya ikut kamping. Tapi
kalau ia bersikap terlalu mengekang, yang ada Leo akan memberontak. Jadi, ah
sudahlah…
“Anda kakaknya Leonard?” tanya Bu Lilik, membuyarkan
lamunan Ryan. Wanita itu merupakan wali kelas X IPA 3ㅡkelasnya Leo.
Entah kenapa, wanita itu menatap curiga ke arah Ryan. Melihat Ryan yang
canggung, membuatnya langsung tersenyum ramah.
“Iya, Bu. Saya
Ryan, kakaknya Leo,” jawab Ryan cepat. Sepetinya ia baru saja berprasangka
buruk pada guru di depannya.
“Apakah Leo punya masalah sejak dari SMP?” tanya Bu
Lilik to the point.
“Masalah seperti apa ya, Bu?” Ryan balas bertanya,
karena ia tak paham. Selama ini, yang ia tahu Leo bukan tipe pembuat onar di
sekolah. Menurutnya, Leo termasuk kategori anak yang penurut. Tapi ia tahu, Leo
kurang supel, bahkan cenderung anti-social.
Tapi mau bagaimana lagi?
“Masalah pendengaran,” jawab Bu Lilik.
“Eh? Dia sering enggak paham di kelas ya? Nilainya
jelek ya, Bu?”
“Bukan. Nilai Leo yang terbaik di kelas…” Tiba-tiba
Bu Lilik terlihat enggan untuk melanjutkan perkataannya.
“Anda tidak menyuruh Leo pindah ke sekolah khusus
kan? Dia tidak tuli sepenuhnya. Saya pikir sekolah ini tidak menolak siswa yang
punya disabilitas,” kata Ryanㅡmulai paham apa yang dimaksud wanita
di hadapannya.
Bu Lilik tertawa hambar. “Ah, saya sama sekali tidak
bermaksud demikian. Kami butuh anak genius seperti Leo. Coba saja dia mau
mengikuti pelatihan olimpiade. Sayangnya dia selalu menolak.” Ia memberikan
raport milik Leo pada Ryan.
“Anak itu hanya perlu dibujuk saja, Bu. Pasti mau,”
kata Ryan sambil menerima buku raport itu. Kemudian ia berjalan keluar kelas.
Ia merasa beruntung, bukan wali murid yang mengambil raport terakhir.
Sambil berjalan menuju halaman sekolah, ia merasa
aneh. Biasanya guru-guru Leo saat SMP selalu melaporkan kejadian Leo bersikap
aneh, selain sulit bersosialisasi. Tapi ini tidak. Mungkinkah guru tadi
menyembunyikan sesuatu?
Kayaknya aku overthinking. Mungkin Leo
benar-benar udah berubah menjaid lebih terkendali sekarang.
**
Sesampainya di halaman rumah, Ryan menyapa
tetangganya yang sedang memberi makan burung peliharaannya. Ia cukup dekat
dengan tetangganya tersebut. Menurutnya, menjalin hubungan baik dengan tetangga
sangat menguntungkan terutama saat ia sedang kesulitan. Yeah, memang faktanya
begitu.
Tak lama kemudian, seorang wanita keibuan yang sudah
berusia setengah abad keluar menyapanya sambil membawakan sepiring bolu kukus
untuknya.
“Dek Ryan, ini untuk kalian ya,” ucap Ibu Ayuㅡnama
wanita ituㅡyang lebih suka dipanggil Budhe oleh tetangga-tetangganya. Ia adalah
istri Pak Tio, tetangganya yang hobi memelihara burung.
Ryan bergegas menerima piring yang masih hangat itu.
“Matur nuwun, Budhe. Jadi
ngerepotin,” ujarnya sambil tersenyum ramah.
“Di rumah ndhak
ada yang makan. Bapak ndhak doyan.
Dimakan ya, Dek Ryan,” ucap Ibu Ayu ramah dengan logat Yogya-nya yang sangat
kental.
Ryan tahu, wanita itu memang suka membuat sesuatu
lantas membagikannya ke para tetangga. Biasanya, ia berikan pada cucunya. Tapi
sepertinya cucu-cucunya belum pulang ke Yogyakarta.
Ryan pun memasuki rumah sewanya. Rumah itu kecil,
namun pas unuk ditinggali berdua bersama Leo. Ia sudah tidak tinggal bersama
kedua orang tua angkatnya, sejak setahun yang lalu. Setelah perusahaan
tempatnya bekerja bangkrut, ia pergi ke Yogyakarta karena mendapat pekerjaan
baru menjadi designer website.
Rumah bercat oranye itu berada di lingkungan
perumahan warga yang rata-rata penghuninya sudah beranak-cucu. Jadi, tidak
heran kalau kebanyakan tetangganya adalah sepasang suami istri yang sedang
menikmati masa tuanya setelah pensiun.
Cowok itu melepas jaket kulitnya dan menaruhnya sembarang
di atas sofa ruang tengah. Ia merasa lega, ternyata adiknya masih tertidur
nyaman di ruang tengah. Kali ini posisinya sudah berubah menjadi meringkuk di
atas sofa.
Ia menaruh piring bolu kukus dan raport adiknya di atas
meja. Ia melihat sekilas nilai yang diperoleh adiknya dan tak berkomentar apa
pun. Entah kenapa sejak kejadian 10 tahun yang lalu, ia sudah kehilangan minat
pada hal-hal yang biasanya orang normal tertarik. Ia menganggap nilai bukan penentu
segalanya. Nilai hanya angka yang kadang bisa membohongi. (Tapi ia percaya
adiknya selalu jujur kalau ulangan.)
Leo terbangun karena ia terjatuh dari atas sofa. Ia
mengaduh pelan dan mengusap bokongnya yang menyentuh lantai duluan. “Aduh,”
gumamnya sambil mendudukan dirinya lantas menatap ke sekelilingnya, mencari
Ryan. “RYAN??!” panggilnya.
“Hm, apa?” sahut Ryan dari dapur.
Meskipun perbedaan umur Ryan dan Leo sangat jauh, Leo
terbiasa memanggil langsung nama kakaknya tanpa tambahan ‘Kakak’. Ryan tidak
pernah mempermasalahkan hal itu. Ia justru lebih nyaman dipanggil nama
langsung. Yeah, mungkin karena mereka pernah tinggal di Amerika.
Leo beranjak bangun, tapi mendadak kepalanya terasa
sangat pusing.
Sementara itu, Ryan sedang memasak sesuatu untuk
makan siang mereka berdua. Ia bisa memasak karena pernah bekerja paruh waktu di
sebuah restoran. Kebetulan chef-nya
baik, sehingga ia diajari memasak sampai bisa. Ia berjalan menuju kulkas untuk
mengambil udang yang akan ia masak. Tapi ia merasa ada yang ganjil di dalam
kulkas tersebut. Seperti ada yang kurang…
Argh… Kenapa
rasanya kayak ada yang kurang ya? Tapi apa? batinnya
sambil menatap kulkasnya yang berisi sayuran, telur, jajanan yang sudah terbuka,
susu, dan cokelat yang tinggal bungkusnyaㅡpadahal Ryan
membeli cokelat itu untuk dirinya sendiri.
Leo mengacak-acak rambutnya. Kepalanya masih pusing
namun ia belum bisa mendeteksi penyebabnya. Tiba-tiba ia mulai merasa mual. Jadi, ini yang namanya hang-over ya?
Akhirnya Ryan sadar. “Leo, kamu minum bir-ku hah?!”
Ryan berjalan menuju ruang tengah sambilㅡmasihㅡmemegang
sodet.
Leo sudah menghilang dari ruang tengah. Anak itu berlari
ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Rautnya pucat pasi karena ini
pertama kalinya ia terkena hang-over.
“Leo, kamu minum semuanya?” tanya Ryan di depan pintu
kamar mandi. Ia terlihat murka mengetahui adiknya sudah berani mencoba sesuatu
yang belum boleh dilakukannya karena ia masih di bawaha umur.
Leo menunduk di atas kloset. Ia mengusap bibirnya
dengan punggung tangannya. “Cuma 3.”
“Itu berarti kamu minum semuanya!” Ryan menyesal
telah menyimpan tiga kaleng bir beralkohol rendah di dalam kulkas. Adiknya yang
baru pertama kali minum alkohol langsung muntah padahal bir yang ia beli
seharusnya tidak sampai membuat hang-over.
“Kamu tahu umurmu berapa, Leo?”
Leo menoleh ke arah kakaknya dengan sorot terluka
karena ia muntah tapi tidak diberi pertolongan apa pun. “15.”
“Kenapa kamu minum hah?”
“Aku penasaran!” jawab Leo ketus.
“Kamu tahu kan minuman beralkohol itu buat orang di
atas 18 tahun?”
Leo berjalan keluar kamar mandi, kemudian mendudukan
dirinya di kursi meja makan. Ia membenamkan wajahnya pada kedua tangannya. Ia
tak berkata apa-apa lagi. Kepalanya masih pening. Tapi ia berusaha untuk tidak
menunjukkannya.
Ryan masih ingin menginterogasi adiknya, tapi melihat
wajah kusut adiknya membuatnya urung bertanya. Ia melanjutkan masaknya di
dapur. Sejak kapan adiknya berani minum minuman beralkohol? Kemana adik
polosnya itu?
Tak seperti biasanya, mereka berdua saling diam dan
sibuk di pikiran masing-masing.
**
“Maaf.”
Ryan sedang menata piring di atas meja makan, saat
Leo meminta maaf. Anak itu tidak menatap langsung matanya karena gengsi. Yeah,
mungkin itu yang Ryan suka dari adiknya. Adiknya selalu degan polos meminta
maaf duluan.
Ryan menyodorkan segelas air hangat pada Leoㅡpertanda
damai dengan Leo.
“Tadi malam, aku lihat bir di kulkas. Terus aku minum
waktu kamu udah tidur,” jelas Leo tanpa diminta.
“Jangan lagi sampai umurmu 18.”
Kelamaan! Leo tidak terima dalam hati, tapi ia mengangguk saja. “Beliin aku red wine mahal di ultahku yang ke-18,”
ucapnya tanpa sadar menyuarakan pikirannya.
“Leo? Kamu udah sadar kan?”
“Udah,” jawab Leo. “Kamu udah pergi ambil raport-ku
kan? Nilaiku bagus enggak?”
Hal lain yang Ryan sukai dari adiknya adalah Leo
masih bisa menanggapi hal-hal kecil di sekitarnya. Terkadang ia sangat tulus
sehingga membuatnya terlihat naif.
“Bagus kok,” jawab Ryan sambil menuang nasi ke dua
piring. “Leo, jangan lagi-lagi minum ya. Aku minta jangan,” ucap Ryan yang
masih belum bisa move on dari topik
pertama.
Leo terlihat badmood
lagi. Ia paling tidak suka kata ‘jangan’, ‘don’t’, atau kalimat-kalimat yang melaranganya melakukan sesuatu.
Tapi ia sedang malas berdebat, jadi ia iyakan saja.
Wajah Leo tidak seperti Ryan. Sifatnya juga sangat merupakan kebalikannya Ryan. Leo memiliki wajah Asia, rambut cokelat brunette, mata berwarna gelap, hidung yang mancung, dan kulit putih cenderung pucat. Tinggi tubuhnya 180 cm dengan berat badan
. Sedangkan Ryan memiliki wajah Amerika yang berasal
dari Papanya. Ryan tak mengerti kenapa bisa begitu. Tapi ia sangat yakin,
dirinya dan Leo berasal dari orang tua yang sama.
“Apa? Aku enggak pernah bolos! Bolos itu tulisannya
Alpha kalau di absen. Aku kan seringnya sakit!” sergah Leo tidak terima.
“Yaa… Maksudnya Bu Lilik itu. Semester depan jangan
sering sakit lagi. Masa sampai 15 hari keterangan sakit?”
“Kamu kan tahu sendiri, aku sakit beneran dan kalo udah
sakit kayak orang mau mati,” ujar Leo enteng sambil memainkan remote TV.
“Tapi kamu pernah kan ngaku sakit padahal cuma mau
main game seharian di rumah. Hayo!!”
“Tapi sehari sebelumnya aku beneran sakit. Itu
namanya pemulihan diri setelah sakit,” balas Leo tak kehabisan ide.
Ryan membungkam mulutnya. Sepertinya percuma berdebat
dengan Leo. Pasti selalu adiknya yang menang. “Kenapa kamu enggak bilang kalau
besok mau pergi kemping sama Nathan?”
Leo langsung menoleh ke arah Ryan. “Kok tahu?”
“Kamu enggak berniat buat kabur kan? Ingat
peraturannya, harus izin kalau mau keluar.”
“Izinnya kan ke aku. Jadi aku udah menuruti
peraturannya kan?”
Ryan jadi ingin mencuit pipi adiknya atau menjambak
rambut brunette adiknya. “Tapi kamu
tahu kan di luar itu berbahaya!”
“Aku udah 15 tahun! Lagian kempingnya deket. Masih
daerah sekitaran Jogja. Sama Nathan dan Jeff lagi.”
“Siapa itu Jeff?”
Leo memasang ekspresi seperti orang yang tertangkap
basah. Ia menutup mulutnya. Sebenarnya ia masih belum yakin apakah Jeff bisa
disebut teman karena cowok yang satu itu awalnya sangat memusuhinya. “Temenku
juga,” jawabnya pendek. “Aku boleh ikut kan? Kami udah buat rencana ini dari
sebulan yang lalu.”
Ryan terlihat berpikir. “Tapi sekarang lagi musim hujan.”
“Terus kenapa?”
“Kamu kan takut petir, geludug, dan sejenisnya.”
“Kapan aku bilang gitu?”
Ryan menatap adiknya tak percaya. Selama ini kalau
ada petir, Ryan langsung lari ke bawah selimut sambil menutup telinga
erat-erat. Kadang kalau hujannya seperti badai, ia bisa terkena serangan panik.
Jadi… berada di tengah musim hujan yang berisiko petir dan geludug, bukan ide
yang bagus.
“Aku kan cuma kadang panik kalau ada geludug soalnya
jadi keinget kejadian 10 tahun yang lalu kan?” Leo mengatakan hal itu
lambat-lambat.
Ryan tercengang. Ini pertama kalinya Leo berani menyebut
insiden 10 tahun yang lalu.
“Tapi aku enggak bakal gitu kalau di depan teman-temanku.
Serius. Jadi enggak usah khawatir.” Leo berkata dengan sungguh-sungguh sehingga
membuat Ryan tak bisa mengelak lagi. Lagipula adiknya bukan anak kecil lagiㅡmeski
selamanya Ryan akan menganggap Leo anak kecilㅡyang harus ia
awasi. Sekali-sekali Leo harus dihadapkan dengan dunia luar sendirian, tanpa
bantuannya.
**
Malamnya, Ryan mendapat pesanan lagi dari klien baru
untuk membuat logo perusahaan. Sepertinya ia akan begadang lagi karena deadline yang diberikan cukup singkat. Kalau
ia sesuai deadline, uang yang ia
peroleh bisa cukup untuk membiayai hidupnya dan adiknya.
Sebelum bekerja sebagai freelancer, ia pernah bekerja di perusahaan nasional selama dua
tahun. Tapi dua tahun yang lalu, perusahaan itu bangkrut membuatnya sampai
harus melakukan berbagai pekerjaan paruh waktu. Beberapa bulan terakhir, ia
kembali membuat design blog dan
menjual designnya di internet.
Ternyata banyak yang tertarik.
Pekerjaannya kali ini tidak begitu menguntungkan,
namun sisi baiknya ia jadi lebih banyak memiliki waktu bersama Leo. Waktu ia
bekerja di perusahaan, Leo tinggal di rumah orang tua asuhnya, namun berakhir
dengan gagal. Adiknya hanya ingin tinggal bersamanya.
Ryan mengernyitkan dahinya ketika menyadari kalau
sekarang sudah memasuki bulan Desember. Itu berarti sebentar lagi, ia harus
melunasi biaya sewa rumah ini. Ia langsung mengecek saldonya di bank melalui handphone-nya. “Shit,”
umpatnya ketika melihat deretan 7 angka yang ada di layar ponselnya.
“Kenapa mukamu serius banget?” tanya Leo tiba-tiba
yang entah sejak kapan sudah duduk di meja makan bersamanya sambil mengunyah
spaghetti-nya.
Ryan langsung meletakkan layar handphone-nya di atas meja makan. “Nothing. Kamu baru makan? Ini udah jam berapa coba?”
“Jam 10.38 malam,” jawab Leo enteng. Matanya
diam-diam melirik layar handphone
kakaknya.
“Kenapa baru makan?”
“Aku baru lapar sekarang.”
Ryan berdecak. “Udah selesai packing-nya buat besok?”
Leo mengangguk.
“Ck, pasti berantakan dan kacau,” kata Ryan sambil
beranjak dari meja makan. Ia tidak yakin adiknya bisa mengemas barangnya dengan
rapih. Adiknya yang satu ini terkadang suka bertindak seenaknya, jadi bisa saja
hasil kerjanya juga ikut berantakan.
Ryan berjalan memasuki kamar Leo dan melihat backpack berwarna biru yang tergeletak
di atas kasur. Ia mengecek isinya untuk memastikan adiknya membawa dua benda
keramat… inhaler dan alat bantu
pendengaran. Tadi malam baru saja adiknya kambuh, bagaimana kalau ia kambuh di
tengah-tengah kemping?
“Rapih kan?” Leo berdiri sambil melipat kedua tangan
di depan dada dan bersender di ambang pintu.
Ryan mengangguk. Tiba-tiba ia teringat perkataan guru
Leo tadi siang kalau adiknya pernah hampir mencelakai temannya. Ia tidak
percaya. Sebelumnya Leo tidak pernah sampai begitu. Apa mungkin Leo menyimpan
sesuatu darinya? “Leoㅡ”
“Yeeaaay~ Jarang-jarang aku dibilang rapih sama kakak
sendiri. Menurutmu, aku harus bawa makanan apa?”
Ryan menatap adiknya dengan sorot tak yang sulit
diartikan. Ah, kapan-kapan aja deh
nanyanya, ucapnya dalam hati. “Besok aku buatin bekal deh.”
“Jangan! Aku beli aja!”
“Loh kenapa? Makananku enggak enak?”
“Bukan gitu. Mending kurencanain sendiri aja,” ucap
Leo sambil berjalan keluar dari kamarnya.
“Ya, terserah kamu.” Pikiran Ryan terpecah menjadi
dua. Sepertinya mulai besok, ia harus mencari pekerjaan paruh waktu lagi. Ia
tak ingin meminjam uang dari orang tua angkatnya. Bagaimana pun caranya, ia
harus bisa bertahan.
**
17 Desember
2017
Sudah berulang kali kejadian ini terjadi. Kalau ada
masalah, kakakku tidak pernah cerita. Sebagai impasnya, aku juga tidak mau menceritakan
apa yang sebenarnya terjadi padaku di sekolah. Bukan hal yang baru lagi kalau
ada yang menarik alat bantu pendengaranku dengan kasar dan melemparnya ke kolam
ikan sekolah. Atau saat aku susah payah menahan, guru di sekolah agar jangan
menghubungi Ryan saat aku jatuh di tengah pelajaran olahraga karena tiba-tiba
semuanya gelap.
“Leo? Jangan melamun di tengah hutan!” seru Nathan
yang sedang menyalakan api unggun, sementara Jeff mengambil beberapa ranting
kayu lagi untuk dilempar ke dalam api.
Aku mendapat tugas mendirikan tenda dan menaruh tas
ke dalam tenda. Cukup mudah. Karena ini cuma
kemping kecil-kecilan, barang yang kami bawa hanya sedikit. Besoknya
kami akan pergi ke air terjun lalu pulang.
“Ini pertama kalinya kamu kemping ya?” tanya Nathan
mencoba mencari topik pembicaraan. Sebenarnya, kalau dia bukan teman dekatku
yang sudah berbuat baik kepadaku selama di sekolah, aku tidak akan mau
melakukan hal seperti ini.
“Yeah,” jawabku sambil melempar ranting ke dalam
kobaran api.
Jeff datang sambil menghisap rokoknya di bibir. Ia
menatapku dengan sorot datar. Aku pura-pura sibuk menyiapkan makanan yang akan
dimakan, karena sebenarnya makanan yang akan dimakan sudah diletakkan di dekat
api unggun agar mudah untuk dibakar.
Sebenarnya, aku masih belum mengerti kenapa Nathan
mengajakku dan Jeff pergi kemping bersama. Meskipun dia pernah menolongku di
sekolah dan menjadi teman sebangkuku, dia selalu sinis padaku. Jadi, kami tidak
akan cocok bersama.
Shit. Seharusnya aku menolak ajakan Nathan.
“Nat, aku pergi jalan-jalan sebentar ya,” ucapku
untuk menghilangkan suasana canggung.
“Udah hampir jam sembilan malam. Jangan jauh-jauh,”
ucap Nathan sambil melihat sekilas jam tangannya. Meskipun badannya kecil,
ternyata ia sudah sering pergi hiking dan
kemping.
Aku mengangguk lantas berjalan menuju hutan yang
gelap dengan ditemani senter. Sudah lama juga, aku enggak pernah pergi refreshing seperti ini. Karena Ryan
sibuk mencari uang, aku jadi sering terlantar. Ya, sebenarnya Ryan pernah
mengajakku pergi berkemah di dekat laut, tapi aku tolak. Karena aku enggak
begitu suka pergi ke alam bebas. Lebih baik stay
di rumah, main game.
“Arrgh!” Aku mengibaskan tanganku ke udara, mengusir
hewan yang baru saja terbang di dekatku.
Ini alasan kenapa aku enggak suka pergi ke alam bebas
-_-‘
Tanpa kusadari, aku udah berada di tengah hutan. Aku
melihat ke atas langit dan menyadari kalau malam ini tidak terang bulan. Yang
ada justru awan Cumolonimbus berwarna
abu-abu. Samar, aku mendengar petir dari kejauhan.
Brother’s
always true. Cuaca di bulan Desember lagi rentan
hujan yang diiringi petir. Aku mengecek alat bantu pendengaranku yang kutaruh
di saku jaket… Siapa tahu petirnya sampai besar banget dan bikin sebelah
telingaku tuli lagi. Menyebalkan.
Aku memutuskan untuk kembali ke area kempingku. Air
hujan mulai berjatuhan. Awalnya sedikit, lama-lama jadi makin banyak. Aku
memakai tudung jaketku dan menatap ke sekeliling. Tadi, aku masih bisa melihat
cahaya api unggun yang dibuat Nathan. Tapi, sekarang HILANG! APINYA MATI!
Aku berlari ke arah yang sepertinya benar. YA AMPUN
GIMANA KALAU AKU TERSESAT? NO, I DON’T
WANT TO DIE HERE!
Tubuhku mulai basah kuyup dan suara geludugnya makin
menjadi-jadi. Kilat petir sempat menerangi langit sejenak.
Aku berlari dan menatap ke sekelilingku dengan sorot
nanar. Hanya ada pohon di sekelilingku. Petir menyambar lagi, kali ini dengan
suara yang lebih keras.
Benar kan, aku teringat kejadian itu lagi yang sudah
malas kuingat-ingat. Tapi mau tidak mau kejadian itu teringat lagi karena
sekarang segala hal di sekelilingku menjadi sunyi… Kata Ryan, kalau tiba-tiba
aku kehilangan pendengaranku lagi, aku jangan panik, karena ini sifatnya hanya
temporal…
Bagaimana enggak panik kalau kepalaku tiba-tiba sakit
mau pecah gini?
To be continue....
0 comments