Forgive Me [PART 6]

Maret 29, 2021

1 Februari 2018

 

“Jeff!” panggil Nathan ketika melihat Jeffrey sedang berjalan menuju kelas. Kelas mereka berjarak cukup jauh, tapi pagi itu Nathan sengaja melangkahkan kakinya menuju kelas Jeffrey. “Pulang sekolah nanti kita harus ke rumah Leo. Dia sakit.”

 

Jeffrey menatap cowok yang lebih pendek itu. Wajahnya menyiratkan tidak persetujuan. “Enggak. Nanti aja jam 9.”

 

“Hah? Bolos maksud lo?” kata Nathan.

 

“Iya lah,” jawab Jeffrey santai. Ia memang sudah biasa membolos kelas untuk pergi ke kantin. Ia pikir Nathan akan menolak usulannya tapi—

 

“Oke. WA gue sebelum jam 9.”

 

Jeffrey melongok. Apa ia enggak salah dengar? Seorang Nathan melanggar peraturan sekolah dengan mudahnya? Bel sekolah tiba-tiba berbunyi. Jeffrey segera sadar dari kagetnya. “Ketemuan di parkiran belakang ya,” ucapnya.

 

Nathan mengangguk mantap. Ia pun segera balik badan menuju kelasnya yang berada di gedung lain.

 

**

 

Nathan belum pernah bolos sebelumnya. Ia berulang kali mengecek jam yang ada di atas papan tulis dan berulang kali berpikir bagaimana caranya menyelinap dari kelas Fisika yang diajar oleh Pak Doni.

 

“Anak tuli itu beneran sakit jiwa ya?”

 

Tiba-tiba Nathan mendengar anak di belakangnya mengobrol di tengah pelajaran. Kebetulan Pak Doni lagi keluar sebentar buat ambil buku yang ketinggalan di ruang guru.

 

“Kenapa sekolah kita nerima dia?”

 

“Ga tau… Tapi aku pernah ngobrol sekali ke dia dan dia engga keliatan sakit jiwa,” jawab cewek pertama yang membuka obrolan itu.

 

“Kadang orang sakit jiwa emang sering ga keliatan,” sahut teman sebangkunya sambil mencontek tugas matematika yang belum selesai ia kerjakan.

 

Nathan menahan kesal ketika mendengar obrolan itu. Teman-teman sekelasnya kenapa percaya pada omongan Theo di lapangan waktu itu? Harusnya mereka sadar kalau Theo hanya memprovokasi agar semuanya berpikiran negatif tentang Leo.

 

“Eh Nat, kamu temenan sama anak tuli itu kan?”

 

“Namanya Leo,” sahut Nathan jengkel.

 

“Nah itu. Dia emang gila ya?”

 

Nathan memutar bola matanya. “Enggak. Kalian yang gila karena percaya mentah-mentah ucapan Theo.”

 

“Ealah Nathan.”

 

Jam setengah sembilan. Nathan mengecek handphone-nya diam-diam karena Pak Doni sudah kembali ke kelas. Matanya terlihat berkeliling ke arah anak-anak kelas XI IPA 1. Beliau paling tidak suka kalau ada murid yang bermain HP di kelasnya.

 

Jeff

Kuy

 

Nathan

Elah. Masih jam 9.24

 

Jeff

Bosan tau mapel sjerah.

 

Nathan buru-buru menyembunyikan handphone-nya di bawah meja ketika Pak Doni melihat ke arahnya. Ia segera mengambil pulpennya dan pura-pura mencatat papan tulis. Ah sial. Kenapa harus bolos di pelajarannya Pak Doni?

 

**


Pagi itu mendung. Leo sengaja duduk di sofa ruang tengah dengan TV menyala agar suasana rumah itu tidak terlalu sunyi. Ryan sudah berangkat bekerja dua jam yang lalu dan meninggalkannya sarapan yang belum ia sentuh.

 

Ia baru memejamkan matanya ketika bel pintunya berbunyi. “Mas Leo?” panggil seorang anak perempuan.

 

Leo pun beranjak dari sofa dan melangkah ke pintu depan. Fiona berdiri di depan rumahnya sambil membawa sekotak brownies. “Ini dari Bunda,” katanya.

 

“Makasih, Fio. Enggak pergi sekolah?” tanya Leo sambil menerima kotak brownies itu.

 

“Bunda mau ajak aku pergi,” jawab Fio. “Bunda juga bilang makasih udah jemput aku kemarin.”

 

Leo tersenyum. “Sama-sama, Fio.”

 

“Dah ya, Mas, aku pergi dulu.” Gadis kecil itu langsung berbalik dan berlari keluar pagar rumah.

 

Leo membawa masuk kotak brownies itu dan menaruhnya di atas meja ruang tengah. Ia mengambil sepotong brownies itu tepat ketika suara motor terdengar berhenti di depan rumahnya. Apa lagi?

 

Tak lama kemudian ia mendengar suara familiar dan pintu pagar yang didorong. Ia berjalan ke pintu depan dan menatap heran pada dua orang di depannya.

 

“Hai, Leo. Gimana bolosnya?” sapa Nathan sambil nyengir. Ia terlihat membawa sekantong kresek besar yang berisi berbagai macam jajan. Ia juga menyandang tas sekolah di punggungnya.

 

“Sekolah pulang cepat ya hari ini?” kata Leo—merasa senang bisa melihat dua orang yang ia kenal datang ke rumahnya.

 

“Kabur dari kelas,” jawab Jeffrey.

 

Leo mendengus tertawa. Ia sudah biasa mendengar Jeffrey bolos tapi Nathan? Anak itu kesayangan guru dan selalu taat peraturan. Benar-benar pengaruh dari Jeffrey.

 

Hujan tiba-tiba turun saat ketiga cowok itu masuk ke dalam rumah. “Untung aja udah sampe sini,” kata Nathan.

 

“Bener. Lo sendirian di rumah?” tanya Jeffrey ke Leo.

 

“Yeah,” jawab Leo.

 

“Leo, lo habis punya urusan sama Theo?”

 

Nathan langsung menyikut Jeffrey. Mereka baru tiba beberapa detik yang lalu tapi Jeffrey langsung menyambar ke pokok pembicaraan. Kedatangan mereka ke rumah Leo juga untuk menanyakan hal itu.

 

Tatapan Leo berubah. “Dia yang cari urusan denganku.”

 

“Dua hari yang lalu, lo hilang dari pelajaran. Jadi, lo dihajar dia?”

 

Nathan menggelengkan kepalanya. Temannya yang satu itu memang selalu to the point.

 

“Ya.”

 

“Nathan lihat lo jalan pulang sorenya. Lo habis dari mana?” Jeffrey terlihat serius.

 

Leo menatap Jeffrey dengan perasaan waspada. Ia tak tahu apa motif Jeffrey sangat penasaran pada masalah ini. “Kalau aku kasih tau, apa yang mau kamu lakukan, Jeff?”

 

“Gue temen lo. Gue pengen tau.”

 

“Aku enggak mau cerita,” jawab Leo tegas.

 

“Kenapa?”

 

“Itu masalahku.”

 

“Gue mau bantu. Gue pengen merasa berguna jadi temen lo.”

 

“ENGGAK.”

 

“Hah? Enggak apa?”

 

“Bukannya udah jelas tadi? Aku ENGGAK mau cerita,” ucap Leo dengan penuh penekanan.

 

Jeffrey terdiam. Jelas ia tidak puas dengan jawaban Leo. Ia menatap Leo yang duduk di sampingnya. Perasaannya tulus karena ia perhatian pada teman akrabnya. Tapi Leo belum memahami itu. Pertahanan Leo sangat sulit ditembus. Tidak ada yang tahu apa yang ada di balik pikirannya.

 

Suasana canggung menggantung di ruangan itu. Nathan menghela napas panjang. Shit. Kenapa Jeffrey tidak bisa menahan diri sedikit? “Kalian berdua bisa akur sedikit?” kata Nathan berusaha memecah keheningan di antara mereka bertiga.

 

Jeffrey membuang muka. Ia tidak mengerti jalan pikiran Leo yang suka menyimpan segala sesuatu sendirian.

 

“Sori,” ucap Leo terlebih dahulu. Nadanya datar tapi ia sungguhan merasa bersalah karena sudah merusak susasana. “Aku ambilin minum dulu buat kalian.”

 

Sementara Leo pergi ke dapur, Nathan memperhatikan bagian dalam rumah Leo. Rumah itu tertata rapih. Ada rak buku di samping TV. Dinding ruangannya berwarna krem dan tidak ada hiasan apa pun yang menempel pada dinding. Di atas meja ruang tengah itu, ada laptop dan joystick yang terhubung ke laptop. Serta ada sekotak brownies. Nathan berpikir mungkin rumah itu rapih karena hanya ditinggali oleh dua orang.

 

Leo kembali membawa dua gelas berisi air putih. Lalu ia membuka kotak brownies yang tadi diberikan Fio. “Kalian mau?” tawarnya.

 

“Siapa yang ga mau,” kata Jeffrey yang dari tadi sebenarnya sudah mengincar kotak brownies itu.

 

“Besok berangkat sekolah?” tanya Nathan.

 

Leo mengangguk. Tiba-tiba dia melirik ke arah laptopnya yang berada di atas meja. “Main PS yuk.” Ia nyengir pada Jeffrey.

 

“Ada game FIFA engga?”

 

Nathan menggeleng. Ia tidak begitu suka main game. Jadi, ia hanya menonton Jeffrey dan Leo bermain.

 

Di luar, hujan turun dengan deras. Beberapa kali petir terdengar menyambar dan suasana jadi lebih gelap. Mereka bertiga bermain game dan makan snack yang tadi dibeli oleh Nathan. Yup, Nathan akhirnya mau mencoba bermain game.

 

Tiba-tiba handphone Leo berbunyi. Ada telepon masuk. Ia membaca ID Caller-nya. Ibu Angkat. “Bentar ya,” kata Leo sambil meraih handphone-nya dan beranjak dari sofa.

 

**

 

Assalamualaikum, Leo,” sapa suara di seberang.

 

Leo berdiri di dapur sambil melihat keluar jendela yang menghadap ke belakang rumah. Hujan terlihat membasahi halaman belakang rumah. “Waalaikumsalam, Ibu.” Rasanya aneh setelah sekian lama tidak mengucapkan panggilan itu.

 

“Leo, kamu sedang ijin sekolah ya?”

 

Sebenarnya Leo tidak begitu akrab dengan Ibu Angkat meskipun Ibu Angkat-nya selalu sayang padanya sejak hari pertama ia diadopsi. Ia tidak tahu kenapa Ibu angkat tiba-tiba bertanya langsung kepadanya. Padahal biasanya bertanya ke Ryan sudah cukup. “Iya,” jawab Leo jujur.

 

“Leo, apa kamu bisa ijin lagi minggu depan?”

 

“Kenapa?” Leo mulai merasa was-was.

 

Ibu ingin kamu ke Jakarta.”

 

“Kenapa?” tanya Leo lagi. Apa yang sudah dibilang Ryan sampai ia harus menemui Ibu Angkat di Jakarta.

 

“Ibu kangen Leo. Tapi Ibu enggak bisa meninggalkan Bapak karena Bapak sedang sakit. Jadi, Ibu belikan tiket pesawat ya.”  

 

“Maaf, Ibu. Tapi aku enggak bisa ke Jakarta.”

 

Semalam saja,” pinta Ibu Angkat.

 

Tanpa sadar Leo menggigit bibirnya. Sepertinya ia harus mengiyakan permintaan ini. “Baik...”

 

“Sudah ya Leo. Kalau sedang sakit, istirahat yang cukup.”

 

Telepon ditutup.

 

Leo yakin Ibu Angkat pasti segera memesankan tiket pesawat saat itu juga. Leo tak mengerti. Biasanya kalau Ibu Angkat meminta bertemu, pasti ada alasannya. Alasannya bukan hanya kangen. Tidak mungkin alasannya semudah itu.

 

Ryan pasti sudah bicara yang enggak-enggak tentang dirinya. Ryan pasti bilang kalau dia sedang sakit dan dia sedang bermasalah di sekolah. Leo tak mengerti kenapa Ryan harus mengadukan semua itu ke Ibu Angkat? Memangnya dia anak kecil?

 

Ia berniat menelepon Ryan saat itu juga untuk mengomel tapi ia teringat ada Jeffrey dan Nathan menunggunya di ruang tengah.

 

**

 

Keesokan harinya…

 

Pagi itu, Leo tidak banyak bicara. Ia belum mengutarakan pikirannya tentang telepon dari Ibu Angkat karena ada hal lain yang mengalihkan pikirannya. Pembully di sekolahnya harus diberi pelajaran kalau masih mengganggunya. Tapi kalau pembully itu tidak mengacuhkannya lagi dan tidak mengusik kehidupannya lagi setelah membuatnya pingsan di kamar mandi, maka ia juga akan mengabaikan keberadaan keparat itu.

 

“Kamu yakin mau berangkat?” tanya Ryan saat mereka sedang sarapan di meja makan. Ia melihat luka di pelipis Leo yang masih belum sembuh total tapi Leo sudah menutupinya dengan plester. Sedangkan sisa memar masih terlihat di lengan kirinya.

 

“Ya,” jawab Leo singkat sambil menyuap serealnya.

 

Ryan terlihat lebih concern pagi itu. Ia berulang kali menyentuh dahi Leo untuk mengecek kalau anak itu tidak berpura-pura sudah sembuh.

 

“Aku pergi dulu,” kata Leo sambil beranjak cepat-cepat dari kursinya. Ia meraih helm dan kunci motor lalu segera mengendarai motornya ke sekolah.

 

**

 

Seattle, AS

8.00 a.m.

 

Seorang wanita terlihat duduk di ruang kerjanya yang hangat. Ia menatap ke pria di hadapannya yang merupakan orang suruhannya. “Apa kau menemukan berkas adopsinya?”

 

Pria itu menunduk takzim. Ia menjawab tanpa menatap wanita itu. “Ya, aku juga sudah menelepon pengadopsinya.”

 

Wanita itu tersenyum puas. Hari itu mood-nya sedang bagus sehingga ia lebih stabil. “Bagus. Apakah tawarannya cukup untuk membuat pengadopsinya melepas anak itu?”

 

“Ya, pengadopsinya berkata ia mempertimbangkannya. Karena anak itu—“

 

Wanita itu menatap tajam pria di hadapannya. Auranya dingin dan penuh intimidasi.

 

“—tidak tinggal bersama pengadopsinya. Mereka tinggal di kota yang berlainan.”

 

“Oh. Tentunya itu bukan masalah besar,” ucap Mrs Cameron—nama wanita berdarah dingin itu. Ia menatap bingkat foto retak di atas meja kerjanya. Sebuah foto anak laki-laki berambut cokelat berfoto dengan wajah tanpa ekspresi.

 

“Ya, pengadopsinya akan segera meminta anak itu pulang.”

 

Mrs Cameron tersenyum penuh arti. “Bagus. Kemudian, dia akan kembali ke pelukanku.”

 

**

 

Sekolah

9.10 a.m.

 

Hari itu berjalan seperti biasa tapi Leo merasakan beberapa tatapan mata sinis tertuju ke arahnya. Ia berusaha mengabaikan hal itu karena ia merasa tidak melakukan kesalahan. Ia mencoba memusatkan perhatiannya pada penjelasan guru matematika yang sedang menjelaskan di depan.

 

Sementara itu, Jeffrey yang duduk di sampingnya berulang kali menguap dan hampir tertidur. “Leo, nanti gue nyontek ya kalo ada tugas,” bisiknya.

 

Leo mengangguk tanda kalau ia mendengar. Sudah beberapa minggu, pendengarannya normal dan ia tidak perlu memakai hearing aids… Lagipula dia sudah merusak hearing aids-nya yang terakhir. Mungkin ia harus cari kerja part-time buat beli hearing-aids baru. Tapi pasti butuh waktu lama untuk menabung.

 

“Jeffrey, silakan jawab nomor 2,” ucap Pak Hermawan—nama guru matematika.

 

Jeffrey langsung membuka matanya lebar-lebar. Ia menyikut Leo dengan keras. “Fuck. Aku harus apa?”

 

Leo sendiri tadi melamun sehingga ia belum mengerjakan soal nomor 2. Ia mencoba mengerjakannya dengan cepat di buku tulisnya lalu memberikan buku tulisnya ke Jeffrey.

 

Thanks,” bisik Jeffrey sambil melangkah maju ke depan dengan percaya diri.

 

Setelah mengerjakan soal itu di papan tulis tanpa mengerti apa yang ia tulis, Jeffrey mendengar Pak Hermawan berdeham.

 

“Ehem. Bisa jelaskan jawabanmu?” tanya Pak Hermawan.

 

Jeffrey menelan ludah. Apa maksud sin cos tan ini? Ia tidak pernah paham pada materi ini.

 

“Berapa sin 90?” Pak Hermawan terlihat menunggu.

 

“Dua mungkin, Pak…” jawab Jeffrey seadanya.

 

“Terus kenapa di papan tulis kamu tulis satu?”

 

Jeffrey tergugup. “Maksuda saya satu, Pak.”

 

Pak Hermawan menatapnya dari balik kacamatanya. “Buku siapa itu, Jeffrey?”

 

Oh shit man.

 

**

 

Jam Istirahat

 

Nathan tertawa mendengar Jeffrey mengeluh setelah kelas matematika peminatan. Siang itu, mereka makan siang di kantin. Leo mendengar obrolan Nathan dan Jeffrey sementara ia merasa was-was pada orang-orang di sekelilingnya. Ia tak bisa menyingkirkan pikiran kalau orang-orang itu menatapnya sinis dan membicarakannya dari belakang.

 

Ucapan kebencian terdengar berdengung di telinganya. Ia yakin seseorang telah menyebarkan berita palsu tentang dirinya yang telah mencelakai seorang anak dari kelas 11 IPS. Theo. Cowok keparat itu pasti yang menyebarkannya dan memutarbalikkan fakta.

 

Leo pikir hari itu akan cepat berakhir tapi dugaannya meleset. Hari itu baru mulai saat bel masuk berbunyi.

 

Seseorang menarik kemejanya dan menyudutkannya ke dinding saat ia berjalan di lorong yang menuju kelasnya.

 

“Lihat semuanya. Anak ini yang membuatku luka tempo hari.”

 

Leo mengeraskan rahangnya.

 

Jeffrey menatap Theo tak percaya. Wajahnya marah dan ia langsung menghajar Theo saat itu juga. “APA-APAAN KAU HAH?”

 

Theo melepas cengkramannya pada kerah kemeja Leo dan menyentuh pipinya dengan dramatis. Ia berjalan mundur seolah sangat kesakitan. “LIHAT. Dia juga berteman dengan berandalan ini.”

 

Jeffrey berniat memukul lagi tapi Leo memegang lengannya terlebih dahulu. “Apa maksudmu, Theo?” suaranya dingin.

 

“Aku ingin kau enyah dari muka bumi ini.”

 

“Kenapa? Apa aku berbuat salah padamu?”

 

“Kau melukai ABANGKU.”

 

Leo mendengus. “Apa? Abangmu yang sedang diskors itu? Yang pembully? Aku heran berapa uang yang kau keluarkan supaya bisa sekolah di sini?”

 

BUGGGHHHH. Ucapan Leo telak. Ia langsung menerima bogem mentah itu di pipinya. Padahal luka yang kemarin juga belum sembuh. Telinganya berdenging. Tapi tak ada cukup waktu untuk mengkhawatirkan pendengarannya.

 

FUCK OFF, LEONARD. AKU TAU KAU ANAK ADOPSI.”

 

Anak-anak berkerumun di sekeliling perkelahian itu. Tak ada yang berani melerai karena mereka tahu reputasi Theo dan mereka juga dengar rumor yang beredar soal Leo. “Terus kenapa? Itu sama sekali bukan masalah.” Leo menyeringai dan mendongakkan wajahnya di hadapan Theo.

 

Theo menarik kerah kemeja Leo lalu mendorong anak itu hingga membentur dinding dengan keras.

 

Jeffrey langsung menyerang Theo dan berusaha melepas tangannya dari kerah Leo tapi hal itu justru membuat Theo marah dan menendang perut Jeffrey. “Jangan ganggu aku, Jeff.”

 

Leo merasakan kepalanya membentur tembok. Suara timbul tenggelam di kepalanya.

 

“Aku ingin kau MATI. ENYAH. KAU CACAT.” Theo memukul Leo lagi. “Kalian juga setuju kan anak seperti dia pergi dari sekolah ini?!” serunya pada kerumunan itu.

 

Kali ini Leo tidak tinggal diam. Ia balik meninju Theo tepat di dadanya. Ia memukul Theo lagi di wajahnya hingga darah muncul dari ujung bibirnya. Theo berusaha membalas tapi Leo mendorong Theo lagi hingga ia jatuh ke lantai.

 

Ia tidak mendengar apa pun lagi. Sunyi senyap. Hanya ada suara dirinya di kepala. Leo tetap menyerang Theo—meluapkan kekesalannya. Ia merasakan seseorang memukulnya juga dari belakang. Sepertinya antek-antek Theo. Tapi Leo bertahan. Ia mengunci tubuh Theo di lantai.

 

Leo makin kasar. Ia berteriak meskipun suaranya tak terdengar olehnya sendiri. Apa yang sudah diteriakannya?

 

Leo berhenti ketika darah terlihat keluar dari mulut Theo. Ia yakin itu bukan luka organ dalam… Pasti ia hanya telah meninju rahangnya terlalu keras.

 

Ia membaca gerakan mulut Theo yang mengatakan PERGI KAU. PERGII. Tapi Leo tidak dengar.

 

Leo melepaskan Theo dan ia langsung ditendang oleh Theo. Ia berusaha bertahan. Ia melihat Jeffrey mengatakan sesuatu. Apa? Lalu, muncul seseorang yang ia kenal sebagai ketua OSIS—menarik Theo ke belakang. Theo masih mengucapkan sesuatu. Tapi apa? Pandangan Leo buram.

 

Lalu ia merasakan tangan seseorang menariknya perlahan agar ia bisa duduk. Nathan. Cowok itu Nathan. Lalu gerombolan itu perlahan bubar oleh perintah seseorang… Bukan guru. Ia bersyukur tidak ada guru.

 

Kemeja putih Leo kotor. Wajahnya berantakan. Keringat mengalir di pelipisnya. Luka baru muncul di wajahnya. Punggungnya nyeri karena seseorang tadi memukulkan sesuatu ke punggungnya. Ia duduk dengan napas terengah.

 

Nathan dan Jeffrey menariknya. Membawanya ke tempat yang lebih sunyi. Bukan di lorong itu karena beberapa anak ada yang sengaja melewati lorong itu hanya karena penasaran.

 

Leo butuh alat bantu pendengarannya. Ia tidak bisa dengar apa pun. Ia takut. Ia ingin berteriak sampai ia bisa mendengar suaranya sendiri. Tapi ia bungkam. Ia membiarkan Nathan dan Jeffrey mendudukannya di sebuah kursi yang ada di depan lab fisika lama. Tempat itu berada jauh dari gedung utaam sekolah. Pohon kersen menaungi depan ruangan itu sehingga teduh.

 

Leo ingin bicara tapi ia takut tidak mendengar suaranya sendiri. Hal ini sudah pernah terjadi sebelumnya tapi kenapa ia takut?

 

Ia berusaha mengendalikan dirinya. Mengucapkan sesuatu dengan bahasa isyarat pada Nathan dan Jeffrey. “Kumohon. Kalian berdua diam sejenak,” ucapnya tanpa suara.

 

**

 

Beberapa menit sebelumnya…

 

“BANGSAAAAT!!!” teriak Jeffrey marah saat suruhan Theo datang dan memukul punggung Theo. Ia langsung menahan cowok itu agar tidak memukul Leo lagi.

 

Kerumunan itu berusaha menghentikan perkelahian itu. Sudah keterlaluan kalau mereka menyerang dengan kayu.

 

Leo masih menindih Theo dan meinjuknya tanpa ampun. Theo meringis dan mengerang. Berusaha mendorong Leo tapi cowok itu terlalu kuat. “Sialan kau, Leo! Kau sudah gila! ENGGAK WARAS!”

 

Leo seolah tak terpengaruh pada ucapan itu.

 

Suasana sangat chaos. Jeffrey juga berusaha menghajar suruhan Theo. Ia sudah lama tidak berkelahi langsung seperti ini.

 

Kerumunan itu bubar saat ketua OSIS datang. Nathan datang bersamanya dengan buru-buru. “Apa-apaan kalian? Ini SEKOLAH,” serunya sambil berusaha menarik Jeffrey. “JEFFREY, KAMU ANAK OSIS! JANGAN MEMPERPARAH KEADAAN!”

 

Jeffrey menyentak tangan Edgar—nama ketua OSIS itu. “Ed, lo ga ngerti! Gue gabisa diam temen gue dicelakai!!” ucapnya sambil berusaha mendekati Theo dan Leo. Tapi Leo sudah berhenti memukul Theo. Kedua anak itu terlihat kacau. Ketika Leo lengah, Theo menendang langsung perut Leo.

 

“ENYAH. PERGI. PERGI KAU, LEONARD SIALAN! ANAK CACAT!!!” Ia memaki Leo dengan seluruh energi tersisanya. 

 

Jeffrey menerjang Theo tapi Nathan menariknya. “THEO SINI LO KALO BERANI!!!!” teriak Jeffrey.

 

Sedangkan, Edgar berusaha menarik tangan Theo ke belakang. “Kamu benar-benar biang segala hal kerusuhan di sekolah ini,” ucap Edgar dengan marah. Ternyata ia sendiri juga tak bisa membiarkan Leo ditendang begitu saja.

 

Leo terduduk di atas lantai. Rambutnya berantakan. Bajunya kotor. Ia menunduk seolah tak terpengaruh pada keadaan kacau di sekelilingnya.

 

“AKU BELUM SELESAI!” teriak Theo tapi Edgar menariknya dengan kasar agar menjauh dari lorong itu.

 

“SEMUANYA. SUDAH. BUBAR, BUBAR!! KEJADIAN DI SINI SELESAI!” ucap Edgar pada kerumunan di sekelilingnya.

 

Jeffrey menatap Theo dengan tatapan penuh benci. Nathan masih berusaha mencengkram tangan Jeff agar ia berhenti memberontak.

 

Kerumunan itu pun perlahan bubar. Meninggalkan Leo yang duduk di tengah lorong. Setelah Jeffrey tenang, Nathan langsung memegang Leo. Jika ia tak salah lihat, Leo hampir jatuh. “Leo, kau baik-baik saja?”

 

“Dia jelas enggak baik-baik aja, Nathan. Jangan bego.”

 

Nathan mendesis ke arah Jeffrey. Ia menoleh lagi ke arah Leo. “Leo, kamu masih bisa jalan?”

 

Tidak ada respon.

 

Jeffrey menatap Leo yang masih menunduk. Ia paham artinya. “Nat, Leo enggak dengar.”

 

Nathan panik. “Leo? Leo? Leo?” panggilnya.

 

“Kita harus cari tempat sepi. Di sini banyak orang penasaran,” kata Jeffrey dengan suara lebih tenang karena beberapa orang terlihat sengaja lewat jalan itu agar bisa melihat sisa perkelahian Theo dan Leo.

 

“Leo, kita jalan sebentar oke? Aku tau tempat yang tenang. Depan lab fis yang lama,” kata Nathan dengan langkah yakin.

 

Kali ini Jefrrey membiarkan Nathan memimpin sambil memapah Leo. Keadaan Leo parah. Theo dan pengikutnya benar-benar memperlakukannya dengan sangat liar. Jeffrey ngeri membayangkan apa yang dihadapi Leo dua hari yang lalu saat Leo tak kembali ke kelas setelah jam istirahat… Apa Leo waktu itu juga dianiaya oleh Theo keparat itu?

 

Jeffrey diam. Ia mengikuti langkah Nathan menuju laboratorium fisika yang lama. Rahangnya sakit karena tadi ditinju oleh cowok gempal pengikutnya Theo. Ia melihat keadaan Leo yang masih diam seribu bahasa. Ia teringat insiden kamping kehujanan itu… Leo kalau sedang tuli, tidak akan mau bicara.

 

“Leo, kamu bisa ngomong?” tanya Nathan yang membuat Jeffrey menyuruhnya diam.

 

“Ssshh… Nat, lo lupa kejadian bulan Desember itu?”

 

Nathan menggigit bibir. Ia ingat. “Tapi aku ingin dengar apa yang dibutuhkan Leo.”

 

“Dia jelas butuh betadine. Tapi kita enggak bisa ke UKS. Orang-orang bisa curiga. Apalagi kalau ada guru.”

 

Leo menyentuh pundaknya sendiri. Ia memejamkan matanya tanpa mengucapkan apa pun.

 

“Leo? Apa kita perlu panggil Ryan?”

 

“Gila. Ga mungkin lah,” sahut Jeffrey. “Jangan libatkan orang dewasa pada masalah ini. Gue juga akan bilang pada Edgar supaya masalah ini engga terdengar guru.”

 

“Tapi Theo hampir membunuh Leo. Dia bahkan menyuruh orang buat mukul dia pakai kayu,” bantah Nathan. “Tadi itu udah gila, Jeff.”

 

Tiba-tiba Leo berdiri, menatap Nathan dan Jeffrey. Ia menggerakkan tangannya pelan dengan bahasa isyarat. “Kumohon. Kalian berdua diam sejenak.”

 

“Mohon. Kalian berdua. Diam. Sebentar,” ulang Jeffrey yang paham sedikit bahasa isyarat.

 

Leo mengangguk dan mendudukan dirinya lagi di atas kursi itu lagi.

 

Nathan menghela napas. Baiklah. Tak ada salahnya mereka duduk diam sebentar di situ. Ia duduk di atas meja yang ada di samping kursi yang diduduki Leo. Ia bersandar pada tembok dan menatap pohon teduh dan taman bunga di depannya. Jeffrey juga duduk di kursi yang ada di samping kiri Leo karena hanya ada dua kursi dan satu meja di situ.

 

Udara siang hari yang panas. Angin yang berembus perlahan di antara daun pepohonan. Taman bunga yang terlihat terawat. Mereka bertiga diam menikmati itu semua. Hingga akhirnya Nathan jatuh tertidur, begitu pula Jeffrey.

 

Meskipun Leo memejamkan matanya, ia tidak benar-benar tertidur. Ia membuka matanya perlahan dan merasakan tubuh Nathan dan Jeffrey bersender kepadanya. Bahunya nyeri terkena pukulan tadi. Tapi ia mengabaikan rasa sakitnya. Ia membiarkan kedua temannya tertidur di sisinya.

 

**

 

Rumah

5.34 p.m.

 

Hari itu Ryan pulang lebih cepat. Ia bergegas membuka pintu ketika mendengar suara motor masuk ke halaman rumah. Ia menatap Leo yang berjalan dalam diam masuk ke dalam rumah. Pakaian anak itu terlihat kusut. Rambutnya juga berantakan.

 

“Leo, kenapa?” tanya Ryan dengan khawatir. Tapi Leo tidak merespons.

 

Begitu masuk ke dalam rumah, Leo langsung memeluk Ryan. “Leo? Astaga. Kamu kan bukan anak kecil lagi,” kata Ryan ketika adiknya memeluknya erat seperti itu.

 

Leo telanjur menangis. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia membiarkan pertahanannya hancur di depan Ryan karena Ryan adalah satu-satunya orang di dunia yang Leo percaya.

 

Ryan berjalan ke ruang tengah dengan tangan Leo berada di sekeliling lehernya. “Adu duh… Leo, kamu berat,” keluh Ryan sambil mendudukan diri di atas sofa.

 

“Ryan. Aku enggak bisa dengar lagi,” ucap Leo dengan suara gemetar. Air mata masih mengalir di pipinya yang terluka.

 

Sudah kuduga, pikir Ryan. Ia menghela napas panjang. Biasanya Leo akan kacau saat pendengarannya hilang. Biasanya anak itu akan berteriak atau membanting pintu, tapi kali ini Leo hanya menangis diam. Seperti bukan Leo yang biasanya… Tak ada gunanya mengajak Leo bicara saat ini karena anak itu memejamkan matanya. Ia tidak mau membaca gerakan mulut ataupun bahasa isyarat. Jadi, lebih baik ia biarkan saja Leo.

 

“Ryan… Aku kesal…” bisik Leo di samping telinganya persis. Ia masih dalam posisi memeluk tubuh kakaknya.

 

Ryan menepuk punggung Leo tapi Leo langsung berjengit. Ia menggeleng kuat-kuat. “Ouchh…” Ia mengaduh pelan.

 

“Eh kenapa?” Tapi Ryan lupa kalau saat itu Leo tidak bisa mendengarnya.

 

Ryan menghela napas dan membiarkan Leo berada di posisi itu sampai anak itu berhenti sesenggukan. Sudah lama Leo tidak begini. Terakhir kali anak itu suka menangis adalah saat usianya 12 tahun. Entah apa yang baru saja terjadi pada Leo karena Leo tidak pernah menceritakan masalahnya pada siapapun.

 

**

 

“Alat bantu pendengaran terakhir kamu sudah rusak ya,” kata Ryan saat mereka makan malam. Ia sendiri sedang tidak memiliki banyak uang saat itu sehingga jalan terakhirnya adalah meminta pada Ibu Angkat.

 

Leo terlihat lebih tenang malam itu meskipun ada beberapa bekas luka di wajahnya. Ia mengangguk setelah membaca gerakan mulut Ryan.

 

“Yah mau gimana lagi. Aku bakal beli besok tapi jangan dirusak lagi,” kata Ryan dengan tegas. Ia tidak tahu sudah berapa kali Leo merusak alat bantu pendengarannya dengan berbagai macam alasan. Mulai dari alat itu dilempar oleh teman sekolahnya sampai karena ia ceroboh menjatuhkannya saat lari.

 

Leo mengangguk sambil menyuap makan malamnya.

 

Tiba-tiba handphone Leo berbunyi dengan keras. Leo tentu saja tidak sadar handphone-nya berbunyi. Maka, Ryan mengambilkan handphone Leo yang ada di meja ruang tengah. Ia membaca ID Caller di layar sentuh. Ibu Angkat

 

Ryan mengernyit. Sejak kapan Leo berhubungan dengan Ibu Angkat? Ia pun mengangkat telepon itu karena Leo juga tak akan tahu ia menjawab panggilan itu.

 

“Assalamualaikum, Leo. Ibu sudah membelikan tiket pesawat ya.”

 

Ryan tak mengerti. Leo mau kemana? Kenapa Leo tidak pernah bilang apapun soal ini? “Ibu, Leo sedang tidak bisa mendengar. Leo mau ke mana ya?”

 

“Leo belum bilang kalau dia mau ke Jakarta minggu depan ya Ryan?” sahut Ibu Angkat dengan suara lembut.

 

“Tidak. Dia tidak bilang apapun soal itu. Apa ada urusan mendesak?” tanya Ryan.

 

“Ibu hanya ingin bertemu dengan Leo. Sampaikan ke Leo ya, Ryan.”

 

“Oh iya Bu—“ 

 

Telepon dimatikan secara sepihak padahal masih banyak hal yang ingin dibicarakan Ryan termasuk alat bantu pendengaran Leo. Sekarang layar handphone itu terbuka dan menampilkan pesan Whatsapp yang belum dibaca. Ryan terkejut melihat banyak pesan dari nomor tak dikenal di handphone adiknya. Damn. Apa yang sudah dibuat Leo sampai ia dapat pesan gila kayak gini? pikir Ryan.

 

Apakah Leo dibully?

 

Ryan kembali ke meja makan dan lanjut makan malam. Ia berusaha memasang ekspresi wajah biasa saja karena percuma saja mengorek informasi dari Leo. Leo hanya akan marah atau lebih parahnya mengamuk.

 

Leo menatap Ryan seolah menunggu Ryan bicara tapi malam itu baik Leo maupun Ryan tidak ingin bicara.

 

**

 

Keesokan harinya

Sekolah

 

Suasana hari itu normal seolah tidak ada kerusuhan sehari sebelumnya. Walau begitu, Leo masih memikirkan kejadian itu. Ia khawatir kejadian itu sampai ke telinga guru dan ia dipanggil guru BK. Ia malas kalau masalahnya sudah berurusan dengan guru.

 

Leo duduk dengan menopang dagu sambil berusaha memahami ucapan guru Bahasa Indonesia yang sedang mengajar di depan kelas. Ia membaca gerakan mulut gurunya. Tidak ada yang tahu kalau saat itu ia tidak mendengarkan apapun kecuali Jeffrey.

 

Jeffrey yang bosan tiba-tiba menulis sesuatu di notes handphone-nya. Ia menggeser handphone-nya ke Leo. Leo membaca tulisan itu.

 

Edgar udah ngatur supaya mslh kemarin ga sampe ke guru

 

Oh bagus, pikir Leo tapi ia tidak mengungkapkan pikirannya. Ia hanya mengangguk pada Jeffrey.

 

Theo ga berangkat sekolah hari ini

 

Jeffrey memberikan info baru lagi. Leo tidak menanggapi karena ia tidak begitu peduli pada Theo. Kalaupun cowok itu masuk sekolah dan mengganggu Leo lagi, kali ini Leo tidak akan segan-segan mematahkan tangan Theo agar ia tak perlu berangkat sekolah lagi. Tapi ia berusaha mengenyahkan pikiran itu. Ia akan terlibat masalah lebih besar kalau itu sampai terjadi. Lagipula luka-lukanya masih belum sembuh…

 

**

 

“Jeff, kemarin ada apa?” tanya Cahyo saat jam istirahat pertama. “Kemarin aku cuma lihat sekilas ada ribut di lorong yang mengarah ke perpus.” Ia menghampiri tempat duduk Leo dan Jeff yang berada di pojok belakang.

 

“Biasalah. Masalah sama Theo,” jawab Jeffrey santai.

 

“Theo emang gila… Kemarin aja dia kosongin lembar ujiannya tapi ia masih bisa sekolah di sini.”

 

“Wtf,” kata Jeffrey. Walaupun ia merasa dirinya bodoh, ia tidak pernah sengaja mengosongkan lembar ujiannya.

 

“Dia udah keterlaluan. Aku pergi dulu yo,” kata Cahyo sambil beranjak berdiri.

 

Leo menangkap apa yang baru saja dibicarakan dua orang itu. Ia merasa Cahyo menghindarinya. Mungkin karena Cahyo melihat bagaimana dirinya kemarin… Kemarin ia memang hampir lepas kendali. Kalau saja dia tidak ingat masalah berkelanjutan kalau ia melukai Theo lebih parah, mungkin Theo sudah berada di rumah sakit saat ini.

 

Leo tidak ingin memikirkan cowok pembully itu lagi. Tidak ada gunanaya.

 

Saat Cahyo keluar tiba-tiba sosok lain masuk ke kelas itu dengan langkah semangat. Itu Nathan dari kelas 11 IPA 1. Ia dengan cuek masuk ke kelas 11 IPA 3. “Leo, Jeff. Kalian mau kamp di pantai?”


Berlanjut

You Might Also Like

0 comments